Lihat ke Halaman Asli

Popi lestari

Mahasiswa

Perempuan dalam Sastra Modern dan Klasik: Sebuah Kajian Representasi dan Keadilan Gender

Diperbarui: 26 Desember 2024   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Representasi perempuan dalam sastra telah mengalami pergeseran yang signifikan sepanjang sejarah. Dalam sastra kuno dan abad pertengahan, perempuan seringkali digambarkan dalam citra stereotipikal yang terbatas. Mereka dikisahkan sebagai tokoh yang pasif, lemah, dan bergantung pada tokoh laki-laki, atau bahkan hanya sebagai objek kecantikan dan hasrat. Contohnya, dalam epik Yunani kuno Iliad dan Odyssey karya Homer, perempuan seperti Penelope dan Helen digambarkan sebagai figur yang pasrah dan kurang otonom (Homer, sekitar 800 SM).

Berikut adalah perbandingan representasi perempuan dalam karya sastra dari berbagai periode dan budaya, pada karya sastra Indonesia.

Dalam kesusastraan Nusantara klasik, seperti cerita rakyat dan hikayat, perempuan seringkali digambarkan dalam peran stereotipikal pula. Mereka dikisahkan sebagai sosok yang cantik, lemah lembut, dan menjadi objek keinginan laki-laki. Misalnya dalam Hikayat Hang Tuah, tokoh Tun Teja hanya digambarkan sebagai istri yang patuh dan setia (Hikayat Hang Tuah, abad ke-16).

Secara umum, representasi perempuan dalam sastra Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan. Meski stereotip lama masih bertahan, semakin banyak penulis yang menghadirkan narasi-narasi baru yang lebih otentik dalam menggambarkan kompleksitas identitas dan pengalaman perempuan Indonesia.

Diskursus feminisme dalam studi sastra terkenal dengan istilah kritik sastra feminis. Feminisme sendiri mengandung arti gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan (Ernst & Horwath, 2014). Feminisme juga merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga (Sugihastuti, 2002). Jika dilihat dengan frame sosial, feminisme adalah studi sosial yang melibatkan perempuan-perempuan yang tertindas karena budaya partiarkhi (Ernst & Horwath, 2014). Feminisme berupaya mendudukkan perempuan untuk meraih perannya dalam pranata sosial dan terlepas dari kedudukan yang dinilai diskredit untuk berperan. Wilayahnya cukup kompleks, baik di bidang budaya, politik, pendidikan, hukum, dan leadership (Naomi, 1994). Namun hingga kini gerakan tersebut sejatinya belum menempati posisi yang maksimal. Dominasi laki-laki (maskulinisme) dalam berbagai bidang masih sangat kuat dan acapkali menjadi rekognisi pranata sosial. Hal tersebut menjadikan kelemahan bagi perempuan untuk berperan dan berekspresi sesuai kodratnya. Relasi-kuasa yang didominasi laki-laki sejatinya tidak dapat menyelesaikan berbagai masalah tanpa melibatkan perempuan. Terlebih jika kontradiksi fenomena sosial yang berlaku dalam wilayah tertentu masih sangat mengakar kuat (Naomi, 1994). Wacana demikian yang kemudian membawa pada diskursus kritik sastra feminis.

Sholwalter menyebut kritik sastra feminis sebagai studi sastra yang terfokus pada perempuan (Madsen, 2000). Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Soenarjati, 2010). Yoder menyebut bahwa kritik sastra feminis bukan berarti seorang pengritik yang berjenis kelamin perempuan, atau kritik tentang perempuan. Arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengritik memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa terdapat banyak jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang memengaruhi situasi karang- mengarang (Rokhmansyah, 2014).

Kritik sastra feminis dapat dibedakan menjadi dua aliran, yaitu kritik sastra feminis berdasarkan ideologi atau kritik ideologis, dan kritik yang mengkaji penulis- penulis perempuan (Humm, 2003). Kritik ideologis menempatkan pembaca perempuan sebagai sumber, sehingga pusat perhatiannya adalah citra dan stereotipe perempuan dalam karya sastra. Sementara kritik sastra yang lain memusatkan perhatian pada berbagai gejala yang dimiliki para pengarang perempuan, sehingga pengkajiannya dapat ditujukan kepada sejarah karya sastra perempuan, gaya kepenulisan, tema, genre, dan struktur tulisan para pengarang perempuan (Yudono, 2009).

Pendekatan feminisme merupakan pendekatan yang menekankan pada penelitian tentang perempuan yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat.

Data yang dijadikan objek penelitian adalah bagian-bagian teks novel The Chronicle of Kartini karya Wiwid Prasetyo yang memperlihatkan peristiwa- peristiwa bentuk pengaruh kekuasaan laki- laki terhadap perempuan, faktor yang memengaruhi serta sikap tokoh Kartini dalam menghadapi kekuasaan laki-laki terhadap kaum perempuan.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencari bentuk kekuasaan laki-laki terhadap kaum perempuan yang dialami tokoh Kartini, perilaku-perilaku yang menggambarkan ketidakadilan gender terhadap perempuan, yaitu marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotype.

Bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel The Chronicle of Kartini menjadi salah satu contoh keadaan masyarakat ketika itu, khususnya di Jawa pada awal abad ke-20. Di mana perempuan pada dasarnya hanyalah untuk diperlakukan, dikendalikan, ditaklukan, dan ditindas oleh laki-laki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline