"Aku insyaf."
"Nasib seorang janda muda tanpa anak sangat menyiksaku. Status yang sangat aku takuti. Tapi aku terima takdir ini dengan lapang dada. Suamiku meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat saat ia mau pulang ke Indonesia. Padahal usia pernikahan kami hanya seumur jagung."
"Rasa ingin memiliki pendamping hidup lagi sangat kuat. Tapi aku merasa takut. Takut kehilangan lagi. Takut memulai hidup baru. Takut dengan calon pasangan baru."
"Hari hari aku isi dengan banyak kegiatan. Mengaji. Ikut seminar. Ikut kegiatan sosial. Ikut kesana kesini untuk mengisi waktu. Inilah awal petaka dan awal kebahagiaan semuku."
"Aku tergila gila dengan mentorku di beberapa acara seminar. Ia begitu menarik, dewasa, tampan, perhatian, baik dan sholeh. Aku rasanya ingin menjadi pendamping hidupku. Tapi saya ia sudah memiliki keluarga. Aku tidak menyerah. Aku mulai cari perhatian dengan mengajukan pertanyaan saat acara, meminta no kontaknya dan mencoba untuk mengirim pesan."
"Dan yesss berhasil. Gayung bersambut. Ia banyak membalas pertanyaanku, membalas dengan hangat dan panjang lebar. Akhirnya aku bisa mengajaknya bertemu untuk makan siang bersama dengan banyak alasan yang aku sampaikan. Pertemuan pertama, kedua dan kesekian kalinya di berbagai tempat berbeda."
"Sampai akhirnya, aku "menembak" ia untuk menikahiku dengan tanpa syarat. Aku hanya ingin memiliki status seorang istri. Aku tidak meminta untuk setiap hari dikunjungi. Aku tidak meminta nafkah lahir karena hartaku banyak melimpah. Dan yess ia pun setuju."
"Aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang istri. Walau hanya menikah siri, semua keluarga setuju dengan melihat kehidupan suami yang telah berkeluarga. Aku tidak merasa menyakiti istri dan anaknya karena aku tidak merasa merebutnya, hanya ingin berbagi status seorang istri dengan tidak mengambil jatah keuangan keluarga mereka."
"Walau suami hanya datang saat siang hari dan saya tidak minta jatah ekonomi, aku sudah merasa bahagia. Suami pun sangat baik dan menjadikan aku seorang istri yang bahagia."
"Tahun berganti. Lahirnya kedua anak kami, situasi mulai berubah. Tabungan mulai menipis sedangkan sang suami tidak pernah memberikan nafkah untuk kedua anaknya walau serupiah. Mulai timbul cekcok karena masalah ekonomi. Anak anak dari istri pertama sedang banyak memerlukan biaya karena sudah ada yang kuliah, penghasilan suami sebagai trainer tidak jua bertambah. Aku minta nafkah untuk anak anak tapi ia berkilah karena sejak awal ia tidak memberikan nafkah. Tapi ini kan anak anaknya bukan untuk aku."
"Aku merasa masalah yang aku alami ini karena dosa dosaku selama ini. Meminta label istri kepada suami yang notabene sudah memiliki istri pertama."