[caption id="attachment_360880" align="aligncenter" width="300" caption="Foto by DPR RI"][/caption]
Kompasiana – Jakarta. Selama 11 tahun sejak diundangkannya UU Advokat No. 18/2003 oleh DPR RI, pada 5 April 2003, terjadi situasi yang tidak kondusif dikalangan Advokat dan Organisasi Advokat, tidak tanggung tanggung situasi ini terjadi hampir di 33 Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Salah satu pemicunya adalah Surat Edaran MA, 24 Juni 2010, antara lain menyatakan bahwa “ Kepentingan Mahkamah Agung untuk hanya mengakui satu Organisasi Advokat sesuai undang undang yaitu sehubungan dengan kewajiban para Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah para Advokat. Oleh karena itu saya instruksikan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah Advokat yang telah dinyatakan lulus dan diusulkan oleh Peradi."
Akibatnya para Advokat diluar Organisasi Peradi yang akan beracara di PN, PT dan MA mengalami kendala akibat surat edaran MA tersebut, bertengkar dan ribut berkepanjangan tidak ada solusinya itulah yg dialami para Advokat di NKRI ini.
Yudisial Review/Permohonan Uji Materiil sudah dilakukan para Advokat dari berbagai Organisasi Advokat ke Mahkamah Konstitusi (MK) namun tidak ditemukan hasil memuaskan para pihak yang mencari keadilan tersebut. Dari 17 permohonan uji materiil terdapat 2 (dua) permohonan yang dikabulkan oleh MK.
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedua terkait dengan permasalahan keberadaan organisasi advokat yang telah menimbulkan friksi antar advokat, baik secara organisasi maupun individu. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Tim Komisi III 2013 DPR RI yang dipimpin Dimyati Natakusumah sudah melakukan study banding selama 4 hari ke Washington DC dan New York itu, tim legislatif Indonesia itu bertemu dengan sejumlah organisasi pengacara di Amerika. Di Amerika pengangkatan Advokat diserahkan sepenuhnya dan menjadi wewenang Negara Bagian masing masing berbeda dengan di Indonesia yang diserahkan kepada organisasi Advokat, UU Advokat tidak bersifat Nasional namun sesuai dengan Negara bagian (Federal). Dan studi banding Tim Komisi III dilanjutkan ke berbagai Negara termasuk Rusia, Jepang dan Negara lainnya termasuk kajian akademis, tokoh masyarakat dengan kunjungan ke daerah daerah di Indonesia. Tentu saja Studi banding ini menghabiskan biaya anggaran Negara yang besar termasuk juga waktu, pikiran dan tenaga semua Tim Komisi studi banding DPR RI ini.