Lihat ke Halaman Asli

Eugen Ehrlich Arie

Tetap Semangat.

Persiapan Menuju Sengketa Pemilihan Hasil Pemilihan Umum 2019

Diperbarui: 9 Mei 2019   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sistem Demokrasi : PEMILU yang jujur dan adil

Sistem Demokrasi dipilih oleh bangsa Indonesia sebagai sarana yang baik untuk menjamin peran serta masyarakat untuk merefleksikan "kedaulatan rakyat" dalam memilih Para Pemimpin Bangsa ini. Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dengan menempatkan masing-masing Individu sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Pelaksanaan demokrasi yang dituangkan melalui proses Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam konstitusi negara kita UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan " Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" memberikan kewenangan mutlak kepada rakyat untuk menentukan secara mutlak siapa pemimpin mereka melalui mekanisme Pemilihan Umum.

Salah satu syarat pokok sistem demokrasi adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu yang jujur dan adil dapat diraih apabila : 1. Adanya tingkat kesadaran dan kedewasaan berpolitik rakyat dalam berdemokrasi, 2. Perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanan pemilu, 3. Rasa aman Para penyelenggara Pemilu, Kandidat, Pemantau dan seluruh warga negara yang mempunyai hak pilih dari Intimidasi, Kekerasaan, Penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya.

Salah satu angenda yang sangat penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia pada tahun 2019 adalah Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pertama kalinya Pemilu memilih anggota legislatif bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 2 (dua) calon Presiden dan Wakil Presiden, 16 (empat belas) Partai Politik Nasional ditambah 4 (empat) Partai Lokal Aceh, Total jumlah TPS pada Pemilu 2019 yaitu 809.500 unit, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, Sedangkan jumlah pemilih yang berhak mengikuti Pemilu 2019, berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan 2 (DPTHP2) per 15 Desember 2018, tercatat 192.828.520 orang, terdiri dari laki-laki 96.271.476 orang dan perempuan 96.557.044 orang, dari jumlah itu, pemilih dalam negeri berjumlah 190.770.329 orang, sementara pemilih di luar negeri 2.058.191 orang.

Calon Presiden dan Wakil Presiden, Para Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota akan bertarung di 80 (delapan puluh) daerah pemilihan yang telah ditetapkan oleh KPU. Hasil Pemilihan yang kemudian akan dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat TPS, tingkat Kecamatan, tingkat Kabupaten, tingkat Provinsi dan terakhir di Tingkat Nasional. Setelah hasil perolehan suara nasional sudah telah ditetapkan oleh KPU, maka Partai Politik dan Peserta Pemilu yang tidak setuju dengan hasil yang telah ditetapkan oleh KPU maka diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD secara nasional oleh KPU sedangkan untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 3 x hari kerja sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional oleh KPU.

Mahkamah Konstitusi: Sebagai Pengadil Tingkat Pertama dan Terakhir

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 474 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Adapun yang dimaksud mengenai sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu. Pihak yang ingin mengajukan gugatan harus memenuhi syarat yang diatur dalam konstitusi. Syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah tentang kedudukan hukum pemohon atau legal standing agar dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi. Seringkali pemohon tidak secara tegas menghubungkan syarat-syarat menjadi pemohon dengan syarat kerugian konstitusional yang diderita oleh pemohon. Legal Standing merupakan sesuatu yang penting dalam mengajukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena salah satu syarat berbicara di Mahkamah Konstitusi adalah memiliki legal standing atau kedudukan hukum. Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa perselisihan pemilihan umum harus melihat legal standingnya terlebih dahulu. Putusan dapat berupa penolakan, tidak dapat diterima, ditolak atau diterima sebagian seluruhnya tergantung dari legal standing pemohon.

Melihat kebelakang pada tahun 2014, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) adalah sebanyak 903 perkara yang terdafatar pada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Dari 903 perkara yang terdaftar hanya 23 perkara yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, artinya ada 880 perkara yang ditidak dikabulkan oleh Mahkamah Konsitusi terdiri atas 312 perkara yang putusannya dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan, 26 perkara ditarik kembali oleh Pemohon, dan sisanya 542 perkara dinyatakan ditolak karena dalil-dalil pemohon tidak terbukti dalam persidangan.

Sedikitnya perkara yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi disebabkan karena Pemohon tidak menjelaskan legal standing sebagai pemohon, masalah dalam pembuktian seperti tidak melampirkan bukti, bukti dan keterangan saksi yang tidak kuat sehingga permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan data MK, 10 perkara pembatalan SK Komisi Pemilihan Umum dengan penetapan hasil perolehan suara secara langsung terjadi pada perkara yang dimohonkan oleh lima partai, yaitu Partai Nasional Demokrat untuk kursi DPRD Provinsi Kalimantan Barat dan kursi DPRD Kabupaten Bangkalan di Provinsi Jawa Timur, dan Partai Golongan Karya untuk kursi DPRA di Provinsi Aceh. Selanjutnya, Partai Amanat Nasional untuk kursi DPRK Kabupaten Aceh Barat di Provinsi Aceh, kursi DPRD Kabupaten Pesawaran di Provinsi Lampung, kursi DPRD Kabupaten Nabire di Provinsi Papua, dan kursi DPRD Kabupaten Sumenep di Provinsi Jawa Timur. Kemudian, Partai Persatuan Pembangunan untuk kursi DPRA di Provinsi Aceh, dan kursi DPRD Kota Binjai di Provinsi Sumatera Utara, dan Partai Bulan Bintang untuk kursi DPRK Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh. Sedangkan, sebanyak 13 perkara yang diperintahkan MK untuk penghitungan ulang hasil pemilihan umum (putusan sela) terjadi pada permohonan tujuh partai, yaitu Partai Keadilan Sejahtera untuk hasil pemilu Provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Timur, Partai Demokrat untuk Provinsi Maluku Utara dan Jawa Barat, Partai Nasional Demokrat untuk Provinsi Maluku Utara dan Jawa Timur. Kemudian, Partai Persatuan Pembangunan untuk Provinsi Sumatera Selatan, PDI Perjuangan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara, Partai Golongan Karya untuk Provinsi Jambi dan Sulawesi Utara, Partai Bulan Bintang untuk Provinsi Sumatera Utara dan Maluku Utara. Penundaan pelaksanaan SK KPU dengan penghitungan suara ulang diputuskan untuk permohonan perseorangan oleh La Ode Salimin atas hasil pemungutan suara anggota DPD Maluku.

Sengketa Pemilihan Umum Tahun 2019, diprediksi akan ada permohonan perselisihan hasil pemilihan yang akan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi, hal ini disebakan oleh banyaknya kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat proses pemungutan suara di TPS dan penghitungan suara diberbagai tingkatan, yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu dan Peserta Pemilu, dan ada kemungkinan akan meningkat apabila dibandingkan pada tahun tahun 2014, hal ini disebabkan proses pemilu dilaksanakan secara bersamaan. Mulai dari pemilihan DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI serta DPD. Selain itu bertambahnya jumlah kursi legislatif yang disediakan serta penambahan jumlah dapil. Dalam gugatan sengketa hasil pemilu terdapat dua persoalan mendasar yang menjadi objek gugatan, yakni (1) terkait hasil penghitungan suara  dan (2) proses Pemilu yang dinilai mencederai demokrasi. Untuk permasalahan penghitungan suara inilah yang membuat MK seolah-olah sebagai kalkulator yang menghitung kesalahan proses penghitungan, namun untuk permasalahan yang terkait dengan proses pemilu yang sifatnya lebih substantif Mahkamah Konstitusi tidak boleh segan-segan akan melihat persoalan yang sekiranya ada hal yang mencederai proses Pemilu.

sebelum menutup tulisan ini, penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi harus mempersiapakan beberapa hal sebelum menghadapi Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yaitu: (1) Regulasi yaitu terkait aturan mengenai pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi, (2) Sumber Daya Manusia (Hakim, Panitera, Staff MK) termasuk pengamanan situasi MK oleh anggota Polri dan TNI, (3) terkait dengan sarana dan prasaranan persidangan, (4) Penyediaan Informasi yang gampang diakses oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait serta masyarakat umum, (5) Integritas dari Hakim, Panitera, Seluruh Staff Mahkamah Konstitusi.

Dan yang terpenting adalah Apabila Mahkamah Konstitusi  sudah memutus hasil sengketa, semua pihak wajib menghormatinya. Salam Demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline