Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter tertentu kepada peserta didik yang di dalamnya terdapat komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter (character education) sangat erat hubungannya dengan pendidikan moral, tujuannya adalah untuk membentuk dan melatih kemampuan individu secara terus-menerus guna penyempurnaan diri ke arah hidup yang lebih baik. Pendidikan karakter sudah seharusnya dilakukan sejak dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Pendidikan karakter ini bisa dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang memanfaatkan berbagai media belajar (Sri Mawarti, 2020).
Seperti kita ketahui bahwa proses globalisasi secara terus menerus akan berdampak pada perubahan karakter masyarakat Indonesia. Kurangnya pendidikan karakter akan menimbulkan krisis moral yang berakibat pada perilaku negatif di tengah masyarakat seperti pergaulan bebas, penyalahgunaan obat terlarang, pencurian, kekerasan terhadap anak, dan lain sebagainya. Sementara itu orientasi pendidikan saat ini cenderung menekankan spesifikasi dan spesialisasi sebagai jawaban atas tuntutan keahlian dan profesionalisme kebutuhan dunia kerja. Peserta didik dirancang untuk mengikuti dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam arti peserta didik diarahkan menjadi teknokrat yang berpikir canggih.
Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Online
Kondisi pandemi Covid-19 mengakibatkan perubahan yang luar biasa termasuk bidang pendidikan. Seolah seluruh jenjang pendidikan 'dipaksa' bertransformasi untuk beradaptasi secara tiba-tiba melakukan pembelajaran dari rumah melalui media daring (online) seperti via Zoom, WhatsApp, Google Meet, maupun luar jaringan (offline) seperti televisi dan radio. Sistem pembelajaran pun dilaksanakan melalui perangkat personal computer (PC) atau laptop maupun smartphone yang terhubung dengan koneksi jaringan internet. Pendidik dapat melakukan pembelajaran bersama di waktu yang sama menggunakan grup di media sosial seperti WhatsApp (WA), Google Meet, Telegram, Instagram, aplikasi Zoom ataupun media lainnya sebagai media pembelajaran (Suryanata, 2020).
Pembelajaran dari rumah ini jelas mengurangi peran langsung guru dalam mendidik siswa. Tidak seperti di sekolah guru berperan langsung menemani siswa dalam belajar dan membentuk karakter, kini guru hanya bisa memberikan materi atau bahan ajar dengan fasilitas yang ada dengan metode daring (dalam jaringan). Nilai- nilai karakter yang biasanya secara langsung disemaikan oleh guru kepada siswa, seperti menanamkan nilai-nilai kejujuran, berpikir kritis, berani mengemukakan pendapat, dan bekerja sama dengan teman kini seakan hilang terhalang jarak yang berjauhan. Akibat dari semua itu siswa akan cenderung belajar sendiri dan kemungkinan kehilangan figur yang biasanya membimbing mereka. Tidak sedikit anak-anak yang lalai belajar dan cenderung lebih banyak bermain. Sebagaimana dilansir dari pelbagai artikel media massa di berbagai daerah yang menemukan fakta bahwa orang tua khawatir anaknya tidak belajar selama jam sekolah berlangsung (Kompas.com, 2020).
Beralihnya pembelajaran dari rumah setidaknya menuntut pelaksanaan pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan) menggunakan media teknologi, seperti laptop atau telepon pintar (smartphone). Tentunya semua ini menjadi tantangan baru bagi berbagai pihak, baik guru, orang tua, ataupun siswa. Mulai dari penyampaian materi hingga pemberian tugas hampir semuanya dilakukan melalui teknologi informasi. Dalam hal ini, jelas sekali dampak positif teknologi untuk memudahkan pekerjaan manusia. Tetapi di sisi lain akibat penggunaan teknologi ini berbagai permasalahan muncul, khususnya di masa belajar dari rumah ini. Seharusnya peserta didik menggunakan telepon pintarnya untuk belajar justru banyak sekali anak-anak yang menyalahgunakan.
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi selama belajar dari rumah, menurut Chusna (2017) ada beberapa dampak negatif yang perlu diwaspadai dalam penggunaan gadget, di antaranya:
1. Sulit berkonsentrasi pada dunia nyata
Rasa kecanduan (adiksi) anak terhadap gawai atau smartphone membuat anak mudah marah, jenuh, dan gelisah ketika ia harus meninggalkan perangkat - perangkat teknologi tersebut. Jika anak sudah merasa nyaman bermain dengan gawai kesukaannya, ia bisa menjadi pribadi yang senang menyendiri memainkan gawai (gadget) tersebut.
2. Terganggunya fungsi PFC
Ketergantungan akan teknologi dapat memengaruhi perkembangan otak anak, seperti terganggunya fungsi PFC (Pre Frontal Cortex). PFC adalah bagian dalam otak yang mengontrol emosi, kontrol diri, tanggung jawab, dan pengambilan keputusan, serta nilai-nilai moral lainnya. Anak yang kecanduan teknologi seperti games online di dalam otaknya akan memproduksi hormon dopamine secara berlebihan yang mengakibatkan fungsi PFC dapat terganggu.