Lihat ke Halaman Asli

Membaca Kesan Sepatu Menari Spektakuler 3

Diperbarui: 9 Oktober 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tanggal 3-4 Oktober 2015, Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Tari, ISI Yogyakarta menyelenggarakan pagelaran Sepatu Menari Spektakuler 3. Ulasan tentang rangkaian acara dan para penampilnya dapat anda baca di http://www.kompasiana.com/maria_prima/sepatu-menari-spetakuler-3-sukses-mengundang-ratusan-penonton_5612433d8423bd29048b4567 yang ditulis oleh Maria Prima Pramudya. 

Nyala api dari sentir atau disebut lampu teplok menghiasi dua sisi jalan sebagai penanda untuk menuju ruang pertunjukan. Menyusurinya melewati gedung tari, terlihat hiasan layaknya tirai menyala keemasan karena nyala api yang menerangi. Tirai dan nyala sentir sendiri menyatu dengan pohon-pohon tinggi yang tumbuh di sekitar Plaza Seni Pertunjukan, tempat di mana rangkaian acara Sepatu Menari dilangsungkan. Ada yang menarik dari pertunjukan ini! Menjelang anda sampai di Plaza Seni Pertunjukan, beberapa panitia yang bertugas menyapa anda dengan ramah, dan mengantarkan anda ke tangga-tangga masuk Plaza Seni Pertunjukan. Berbekal senter, mereka akan menuntun perjalanan anda. Saya cukup beruntung, sebab ketika saya datang penonton sudah memenuhi ruang pertunjukan yang berbentuk lingkaran itu dengan tangga pada sisi luar laiknya tribun stadion sepak bola. Namun justru karena itu saya membaca kesan yang mendalam, sebab panitia tersebut dengan sangat baik mengekspresikan penyesalan dan permintaan maaf karena ruang penonton telah penuh. 

Peristiwa sederhana inilah yang membuat saya merasa perlu untuk menuliskannya. Sudah lama saya menanti kesempatan menyaksikan sebuah pagelaran seni pertunjukan khususnya yang diselenggarakan di ruang terbuka namun dengan kualitas pelayanan yang baik. "Nguwongke" seperti dalam bahasa jawa yang artinya memanusiakan manusia. Meskipun pertunjukan itu gratis, namun panitia memperlakukan penonton seperti halnya tamu yang berkunjung ke rumah. Dipersilahkan ia masuk dengan ramah, dipersilahkan ia duduk dengan ramah. Tindakan sederhana seperti itu, menurut saya pribadi adalah upaya yang sangat baik dan akan berkaitan dengan kemajuan seni pertunjukan. Lahir kesadaran bahwa antara pelaku seni pertunjukan dan penonton adalah dua hal yang tak terpisahkan. Alhasil, kenyamanan penonton perlu diutamakan sehingga membuat mereka betah menyaksikan pertunjukan hingga penghujung acara.

Membaca ruang pertunjukan yaitu Plaza Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta adalah bentuk ruang pertunjukan yang saya idam-idamkan akan hadir di tengah kehidupan masyarakat. Sering kita jumpai di pedesaan, seni pertunjukan tradisi seperti Jathilan (Kuda Lumping), Kobro, dan tarian-tarian tradisional tersaji dan membuat antusias para warga untuk menyaksikan. Umumnya, kesenian tradisi tersebut dilangsungkan karena ada warga desa yang memiliki hajatan, misalnya anaknya sunatan hingga pernikahan. Atau ada pula yang merupakan kegiatan rutin sebagai contoh pagelaran Festival Lima Gunung yang diselenggarakan oleh Komunitas Lima Gunung Magelang. Sering saya jumpai, ruang bagi kesenian tradisi atau kesenian rakyat tersebut bertempat di halaman warga atau tanah lapang yang dibatasi dengan bambu membentuk garis persegi panjang sebagai batas pelaku kesenian dengan penonton. Bila dicermati, penonton dengan berbagai usia akan hadir menyaksikan pertunjukan kesenian rakyat ini, baik itu anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek dan bahkan bayi yang masih dalam gendongan ibunya dengan kain jarik.

Berdiri adalah realitas yang kita jumpai saat kita menyaksikan pertunjukan kesenian rakyat, dan sudah barang tentu hal itu melelahkan sehingga mungkin penonton kurang seksama menikmati sajian kesenian rakyat. Apalagi jika pada baris depan sudah penuh orang berdiri, akan menjadi kerepotan tersendiri bagi penonton yang berada di baris belakang untuk dapat menyaksikan pertunjukan kesenian rakyat. Berjinjit atau mencari celah di antara kepala-kepala penonton yang berdiri bersebelahan dengan rapat adalah beberapa upaya yang bisa dilakukan mereka yang berada di baris belakang.

Menghadirkan ruang pertunjukan seperti Plaza Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta di desa-desa adalah hal yang menurut saya patut dipertimbangkan. Boleh jadi ruang seperti itu dapat menjadi pendukung kelangsungan kesenian rakyat di desa. Beberapa fungsi dapat diperoleh dari ruang pertunjukan tersebut, yaitu sebagai tempat latihan warga dalam berkesenian, tempat hajatan seperti malam tirakat 17 Agustus dan ruang pertunjukan yang membuat penonton nyaman untuk menyaksikan. Bentuk tribun melingkar meski hanya dibuat dari batu atau cor-coran adalah seperti kita memberikan kursi pada tamu.

Sebentuk penghormatan, bahwa penonton, orang desa juga berhak menyaksikan pertunjukan kesenian rakyat dengan nyaman. Perlahan tapi pasti, saya meyakini dengan keberadaan ruang pertunjukan itu di desa, penghargaan terhadap kesenian rakyat akan semakin meningkat. Orang-orang para pelaku kesenian rakyat yang berproses di dalamnya akan dikenal, dan aneka karya cipta baru tidak lagi anonim, tidak seolah-olah kesenian rakyat itu muncul seperti kita melempar kentos (biji salak) lalu tiba-tiba sudah ada tunas salak di halaman. Kehadiran penonton, kenyamanan penonton adalah bagian dari kelangsungan hidup kesenian itu sendiri.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline