Lihat ke Halaman Asli

Kapitalisme Shut Down, Kami Siap Menguburmu!

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Merdeka.com

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Sumber gambar : Merdeka.com"][/caption] Hari ini kejelekan terlihat lebih letih dari biasanya, ia sayu dalam pandangan dan gamang dalam mengambil keputusan. Untuk beberapa pekan, menutup badan-badan federal secara teratur dirasa satu-satunya solusi, mengingat tidak adanya alokasi anggaran karena kehabisan uang. Jika saja kerakusan yang dulu mereka banggakan, sebentar saja merendahkan hati untuk berbagi, mengambil simpati dari orang-orang yang mereka injak, menciumi tangan-pipi dan mengelus kepala atas korban konspirasi yang mereka lakukan, mungkin dampaknya tidak sekeras ini. Tapi akhirnya semakin jelas sekarang, kapitalis dengan kebobrokan yang ditutupinya dihantam bencana akibat penutupan yang kurang sempurna. Mereka telah lama tidak mengakui bahwa pepatah yang menyatakan "sepandai-pandainya bangkai dipendam, akan tercium juga" adalah bagian dari kenyataan hidup. Kapitalisme sebagai bapak tertua dari peradaban yang melahirkan demokrasi, liberalisme, dan sekulerisme sedang menghentakkan nafas untuk dikeluarkan, ibarat ketika buang hajat, ia penyebab mulesnya kehidupan. Amerika ditikam kapitalisme yang padahal peliharaannya yang termanis, persis ketika Fir'aun dijahili oleh Musa yang sejak kecil ia pelihara. Bedanya Musa adalah hamba Alloh, sedang kapitalisme adalah ideologi laknatulloh. Ah, tapi memang beda, jauh sekali. Lupakan saja! Yang pasti kehancuran bagi para pembangkang Allah adalah suatu keniscayaan. Kehidupan masih terus berjalan. Hingga hari ini, ketika saham AS terjun bebas dan menimbulkan kegundahan yang mendalam yang berimbas pada kekhawatiran kebuntuan politik, di negeri-negeri kaum muslimin masih sangat sibuk diselimuti sikap heroik untuk terus bertahan hidup. Semburat senyum tak pernah nampak kepermukaan, tidak karena derita hidup keluarga yang demikian berat, namun cemas yang tak kunjung berakhir ini karena adanya kekesalan dan greget untuk tidak menerapkan kapitalisme demokrasi yang merupakan pemicunya. Termasuk di indonesia. Mak Juju mungkin tak mengenal istilah kapital, kapitalis, kapitalisme, atau sebangsa fiskal, faktual, fluktuasi. Baginya, kata itu terlalu liar, susah dicerna maknanya. Istilah ekonomi yang ia hafal hanyalah kredit dan meminjam. Jika persediaan uang bulanan telah habis, sedang naluri untuk memiliki panci dan alat masak sangat tinggi, hanya punya dua opsi, kredit barang atau pinjam uang. Namun baginya kebersahajaan dalam hidup bukan terletak pada ambisi memiliki (to have or not to have) bukan pula untuk menjadi dan mengungguli (to be or not to be). Sederhana, ia hanya berpikir apa yang mesti ia lakukan dalam berislam, baginya kehidupan adalah melakukan hal-hal yang Allah perintahkan. Ah, jika saja mampu ia berkata dengan aksen kebahasaan yang ciamik layaknya ahli sastra atau para cendekiawan muda, mungkin ini yang ia katakan "ketika aku berislam, bukan permasalahan mumpuni atau tidaknya dalam hidup, bukan pula mencapai taraf tertinggi untuk diakui di masyarakat. Hidup bukan untuk menjadi apa yang diri sendiri inginkan, tapi untuk beramal sesuai apa yang Allah perintahkan" kemudian menghela nafas panjang dan menambahi dengan dalil asal perbuatan manusia "اْلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ اللهِ: hukum asal perbuatan adalah bahwa manusia terikat dengan hukum allah". Keren, luar biasa! Kapitalisme murung, geliatnya pucat kecapean, namun bukan untuk dikasihani. Pendahulunya yang wafat lebih dulu, sosialisme, juga bukan menjadi bahan suguhan baru dalam mengatasi permasalahan kehidupan. Kita mesti tahu hukum asal perbuatan dari kedua ideologi ini. bagi para kapitalis, hukum asal perbuatan manusia adalah bebas tanpa aturan, sedang bagi rivalnya, sosialis, hukum asal manusia mengikuti perubahan materi. Khusus bagi orang kapitalis, perbuatan manusia tidak perlu diatur, bebas sebebas-bebasnya, hanya ada peraturan ketika ada permasalahan, itu pun dengan jalan kesepakatan, tidak ada value yang baku yang menjadi pegangan. Cacat! Ketahuilah... Gemuruh arus revolusi islam akan membumbung tinggi sampai ke langit. Malaikat senantiasa siap bertasbih atas darah-darah yang tumpah untuk revolusi ini. Hingga bumi bisu karena takjub atas orang yang percaya bahwa islam hanya satu-satunya solusi, padahal ia tak bertemu nabi, tak melihat paras manusia yang paling mulia ini. Bukan lagi saatnya timbang-menimbang solusi apa untuk mengatasi permasalahan yang semakin rumit. Tak ada waktu, ambil islam seluruhnya, atau kita mati sia-sia karena belum mencicipi manisnya beriman dengan melaksanakan total syariat islam pada setiap inchi persoalan kehidupan. dimuat di Dakwah Media Online

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline