Lihat ke Halaman Asli

Pollung Sinaga

Pembelajar | Konten Kreator

Kidu & Kidu-Kidu

Diperbarui: 3 Agustus 2024   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Sahabat Kompasiana, Sabtu ceria ini kita hadirkan kuliner salah satu suku di tanah air yaitu suku Karo, Sumatera Utara. Kali ini kita berkenalan dengan kidu dan kidu-kidu yang mungkin asing ditelinga sahabat.

Banyak orang mengira bahwa kidu dan kidu-kidu itu sama dan banyak juga yang menggunakan istilah kidu-kidu untuk merujuk kepada dua jenis makanan yang berbeda. Memang sering dianggap sama karena keduanya merupakan makanan khas masyarakat suku Karo. Namun kidu dan kidu-kidu merupakan dua jenis makanan yang sangat berbeda bahan, pengolahan, dan cita rasanya. Sebagian orang suka mengkonsumsi kidu dan kurang doyan kidu-kidu  dan sebaliknya. Nah, apa yang membuat kidu dan kidu-kidu  berbeda?

Kidu dianggap sebagai salah satu makanan ekstrim karena kidu berbahan dasar ulat yaitu jenis ulat sagu yang diambil dari pohon aren atau enau yang telah membusuk. Ulat sagu atau yang sering di sebut dengan ulat bagong memiliki nama latin rhynchophorus ferruginenus. Ulat atau kidu ini berasal dari larva kumbang yang telah menetas. Ulat ini biasa dimakan mentah ataupun dimasak dengan bumbu arsik oleh masyarakat suku Karo. Kidu dipercaya dapat menambah stamina, kaya protein, mengandung karbohidrat, dengan kandungan asam amino yang tinggi. Dulunya kidu merupakan makanan yang digemari oleh raja-raja Karo dan Kidu selalu hadir di setiap kegiatan adat khusus untuk para raja dan tetua adat. Kini makanan ini menjadi langka karena ulat kidu mulai sulit dicari dan terjadinya pergeseran selera makan generasi muda.

Nah, bagaimana dengan kidu-kidu? Bahan utama untuk membuat kidu-kidu adalah usus halus babi atau sapi yang sudah dibersihkan, kemudian diisi daging babi atau daging sapi cincang, lalu dicampur telur ayam, daun singkong, garam dan merica. Kidu-kidu yang sudah terisi penuh, diikat kedua ujungnya, kemudian direbus hingga matang lalu dibakar dan disajikan dengan cara dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil.

Demikian postingan ini menyapa sahabat, apabila ada penyampaian yang salah, kurang akurat, mohon dimaafkan dan dikoreksi untuk tumbuh kembangnya literasi di negeri ini. Bagi sahabat yang berbeda pandangan/pendapat dengan yang diutarakan di atas silakan manfaatkan kolom komentar.

Mari kita lestarikan kuliner Nusantara!

*Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline