Sahabat Pembelajar, tahun ajaran baru pada 2024 Kurikulum Merdeka direncanakan akan diberlakukan untuk semua sekolah di tanah air. Tahun pelajaran 2021/2022 sudah ada sekitar 2500 sekolah penggerak yang menerapkan kurikulum merdeka, dan tahun pelajaran 2022/2023, ada 143.265 sekolah yang mengimplementasikan kurikulum merdeka, baik sekolah penggerak maupun sekolah yang secara mandiri bersedia menerapkannya.
Nah, apakah sahabat sudah berkenalan dan mulai paham dengan kurikulum merdeka, atau masih tersandera dengan kekeliruan, salah paham, mispersepsi, miskonsepsi, misinformasi terhadap perubahan kurikulum? Ikuti terus paparan ini dan silakan berkomentar di kolom komentar agar kita secara bersama-sama menebar manfaat kepada banyak orang.
Berikut saya paparkan 8 kekeliruan pemahaman dan miskonsepsi terhadap Kurikulum Merdeka:
1. Perubahan Kurikulum Hanya Pemborosan, Ganti Menteri Pasti Ganti Kurikulum
Loh, koq bisa? Sahabatku semua, perubahan itu adalah sebuah keniscayaan. Kata orang tiada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Jadi kalau terjadi perubahan dalam kurikulum nasional, itu suatu hal yang lumrah agar pendidikan kita tidak terlindas oleh kemajuan jaman. Kurikulum harus dievaluasi secara berkala dan disesuaikan dengan perubahan zaman. Jadi gak perlu dibenturkan dengan pemborosan atau pergantian menteri. Menurut Soetopo dan Soemanto (1991: 38) bahwa suatu kurikulum disebut mengalami perubahan apabila terdapat perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum. Komponen kurikulum dimaksud adalah tujuan pendidikan, pengetahuan, metode mengajar, dan penilaian. Di dunia yang berubah sangat cepat saat ini seharusnya pun pendidikan tampil sebagai pelopor perubahan itu sendiri. Perubahan kurikulum sedikit banyak akan "memaksa" guru-guru untuk melakukan evolusi maupun revolusi terhadap gaya mengajarnya di kelas. Kita bisa saksikan, saat ini guru-guru getol melakukan digitalisasi pembelajaran, menghadirkan pembelajaran kepada siswa dengan menggunakan berbagai aplikasi atau platform mengajar seperti Canva, Google Classroom, Merdeka Mengajar, Jamboard, Quiziz, dan lain-lain, serta kepala sekolah mengupayakan digitalisasi sekolah sebagai jawaban terhadap kurikulum dan zaman yang berubah.
2. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Sama Dengan Project Based Learning
Lagi-lagi keliru nih! Projek penguatan profil pelajar Pancasila merupakan aktivitas pembelajaran yang dapat berupa kajian, penelitian, diskusi, bakti sosial, penguatan fisik dan mental atau pembelajaran berbasis projek untuk menginternalisasi 6 karakter atau profil pelajar Pancasila dalam kegiatan kokurikuler. Sedangkan, Project Based Learning (PBL) merupakan kegiatan pembelajaran berupa pembuatan produk barang atau layanan jasa yang digunakan sebagai wahana penguasaan kompetensi dalam kegiatan intrakurikuler. Dengan kata lain, pelaksanaan projek penguatan profil pelajar pancasila bisa saja dilakukan dengan menerapkan metode Projek Based Learning.
3. Terjadi Perubahan Total Jumlah Mata Pelajaran
Waduh, gaswat! Bila melihat struktur kurikulum merdeka, tidak ada perubahan total jam pelajaran, hanya saja jam pelajaran atau JP untuk setiap mata pelajaran dialokasikan untuk 2 kegiatan pembelajaran berbeda: (1) kegiatan pembelajaran intrakurikuler dan (2) kegiatan projek penguatan profil pelajar Pancasila. Jadi, jika dihitung JP kegiatan belajar rutin di kelas (intrakurikuler) saja, memang seolah olah JP-nya berkurang dibandingkan dengan Kurikulum 2013. Namun, selisih jam pelajaran tersebut dialokasikan untuk projek penguatan profil Pelajar Pancasila. Misalnya, jumlah JP bahasa inggris di tingkat SMP 4 JP, nah 3 JP untuk pembelajaran intrakurikuler dan 1 JP untuk projek. Perubahan kecil yang ada misalnya, mapel Pendidikan Kewarganegaraan yang disingkat PKn diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan ada tambahan mapel wajib yaitu INFORMATIKA. Sahabat tak usah kuatir, tunjangan sertifikasi amanlah itu.
4. Mata Pelajaran Muatan Lokal Tidak Perlu Lagi
Ops! Yang benar adalah sekolah dapat menambahkan muatan tambahan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik serta mengelola kurikulum muatan lokal secara fleksibel.