Lihat ke Halaman Asli

Florence Sihombing dan Blangkon Jogja

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14100114641386559052

[caption id="attachment_341361" align="alignnone" width="809" caption="Florence Sihombing di SPBU Lempuyangan, Yogyakarta"][/caption]

"Berikan kesempatan Flo berada di Jogja dan selesaikan kuliahnya. Tidak hanya belajar (di kampus) tapi toh dia juga belajar dengan nilai lingkungan masyarakat Jogja," demikian Sri Sultan Hamengkubuwono X mengakhiri ingar bingar kasus Florence Sihombing, Mahasiswa Pascasarjana Program Kenotariatan Univeritas Gadjah Mada (UGM) yang mengunggah umpatan mengenai Yogyakarta di situs jejaring Path.

Raja Jogja bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah itu memaafkan Florence.

Sultan secara tersirat meminta masyarakat (Jogja khususnya) yang marah dan balik menghujat Florence dalam beragam ekspresi kekesalan --mulai cacian bernada rasis, gambar nakal rekaan beraroma cemooh, meretas (hack) laman Kenotariatan UGM, hingga membawa permasalahan ini ke ranah hukum-- kembali tenang.

Mengamalkan nilai-nilai adiluhung konsep kekuasaan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berkuasa mutlak namun tetap diimbangi dengan kewajiban moral untuk menyejahterakan rakyatnya. Sebagaimana konsep keagungbinatharaan, kekuasaan yang besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, berbudi luhur mulia, dan bersikap adil terhadap sesama (agung binathara, bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambang adil paramarta).

Ngarso dalem juga meyakinkan kawulo Jogja dan masyarakat secara luas bahwa dengan berjalannya waktu Florence akan memahami filosofi blangkon Jogja dengan mondholoan (tonjolan) di belakangnya. Mengutip penjelasan Budayawan Emha Ainun Najib, mondholan pada blangkon Jogja menggambarkan karakter warga setempat yang pandai menyimpan rahasia dan aib sendiri maupun orang lain. Terkesan basa-basi namun itulah bukti keluhuran budi masyarakat Jawi.

Filosofi lain, blangkon menjadi simbol kesempurnaan dalam pertautan mikrokosmos (jagad alit) dan makrokosmos (jagad ageng). Blangkon sebagai isarat jagad ageng yang penuh nilai-nilai transedental, sementara kepala merupakan jagad alit yang berada dalam naungan makrokosmos. Keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi yang memerlukan kerja keras namun tetap bergantung pada kuasa Tuhan. Karenanya untuk mencapai misi kekhalifatan itu dibutuhkan tangan Tuhan dalam simbol blangkon.

Semoga filosofi blangkon ini terus bisa dijunjung tinggi (khusus) oleh masyarakat Jogja, dan orang-orang yang pernah maupun sedang tinggal di Jogja. Mereka selalu pandai menyimpan rahasia. Senantiasa tersenyum ramah meski hatinya menangis. Sakit hati karena hinaan tidak harus dibalas dengan cercaan. Apalagi diumbar di media sosial yang kini dalam genggaman.

Florence hanya kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, kemudian menyampaikannya dengan blakblakan. Sesuai karakternya yang tidak pandai berbasa-basi.

Walhasil, tidak ada salahnya mengikuti ajakan Sri Sultan, “Maafkan Florence”. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline