Ibu dan Komoditi Politik
Pagi ini beranda media sosial saya dipenuhi dengan postingan ucapan syukur dan terima kasih, status Whatsapp pun demikian. Whatsapp grup beranggotakan para penulis Indonesia dipenuhi berabagai artikel tulisan online dan cetak tentang ibu dengan berbagai ulasan, puisi-puisi elok tak ketinggalan. Iya.. semuanya sedang memperingati hari ibu.
Entah sudah berapa banyak ketentuan peringatan sebuah momentum yang ditentukan oleh pemerintah untuk diperingati termasuk hari ibu yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 315 Tahun 1959. Entah apa alasanya mengapa setiap tanggal 22 Desember ditepakan sebagai hari ibu. Jika penentuan tanggal 22 Desember bertolak dari awal terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, maka sudah barang tentu terminologi perempuan berbeda dengan terminologi ibu. Sehingga pertanyaannya yang kemudian muncul adalah mengapa tidak dinamakan sebagai hari perempuan? Sebab antara pemahaman perempuan dan ibu secara perspektif kapasitas berbeda karena seorang perempuan belum tentu adalah seorang ibu.
Menjadi perempuan maupun pria merupakan given (diberikan) yang menjadi hak prerogratif Tuhan. Tidak ada satu orangpun bernegosiasi bahkan menolak kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai perempuan. Menjadi perempuan adalah prime status, Status yang dari 'sono-nya' seorang anak manusia diciptakan. Sedangkan menjadi ibu adalah Choosen (pilihan). Seorang perempuan memilih untuk menikah berarti dia memilih dan siap untuk menjadi ibu sehingga status sebagai ibu rumah tangga. Menjadi ibu adalah achievment status, Status yang diterima sebagai konsekuensi atas preferensi persona.
Tulisan ini sebenarnya tidak untuk memperdebatkan antara perempuan dan ibu, tetapi pandangan saya terhadap perempuan dan ibu di atas merupakan bagian dari menyikapi realitas sosial yang berkembang terhadap ibu. Bukan soal kata-kata indah nan manis sebagaimana berseliweran di media sosial. Saya ingin lebih jauh berbicara tentang ibu pada tataran bernegara.
270 juta lebih penduduk Indonesia, 49,42 % (133,54 juta orang) berjenis kelamin perempuan, sedikit lebih kecil dari jumlah penduduk laki-laki sebesar 50,58 % (136,66 juta orang). Berdasarkan data BPS tahun 2018, 118 juta penduduk Indonesia adalah perempuan dan sebanyak 74 juta adalah ibu rumah tangga. Dari data ini muncul pertanyaan apakah negara telah memperhatikan ibu (rumah tangga) melalui kebijakan - kebijakan pro ibu rumah tangga? Mungkin pemerintah akan menjawab bahwa negara telah memperhatikan ibu-ibu (rumah tangga) melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah
Ibu dalam konsepsi gender merupakan bagian dari gender itu sendiri, namun pembangunan berbasis gender mencakupi seluruh aspek sasaran gender seperti lansia, anak-anak, difabel dan lainnya. Dan jika kita menelaah pembangunan berbasis gender, pemilahan data (data terpilah) yang digunakan untuk perumusan sasaran pembangunan tidak berbasis pada data ibu (rumah tangga) tapi berbasis pada perempuan. Data terpilah menurut hemat saya harus menyentuh pada bapak-bapak dan ibu-ibu bukan semata pada perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu, negara harus secara serius 'memberlakukan' ibu secara serius melalui kebijakan yang mengangkat jati diri dan kesejahteraan ibu -ibu. Dalam setiap kebijakan politik ibu-ibu adalah pihak yang paling merasakan dampak. Naik turunnya bumbu dapur sampai pada biaya pendidikan ibu-lah paling merasakan.
Arus informasi dan kemajuan perangkat teknologi telah memberi ruang kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengikuti arus perubahan sosial, termasuk didalamnya adalah keberadaan ibu-ibu yang mulai 'hobi' mengakses arus informasi politik serta kebijakan-kebijakan negara. Dalam teori partisipasi, seseorang ikut mengakses informasi terhadap sesuatu yang dapat mempenagruhi hajat hidupnya dinilai sebagai bagian dari partisipasi. Ketika ibu-ibu 'hobi' mengakses informasi politik dan kebijakan negara maka negara harus mulai memikirkan eksistensi ibu-ibu dalam setiap perumusan kebijakan, sebab semakin tinggi dan aktif partisipasi seseorang /kelompok maka semakin tinggi kadar kritisnya sehingga jika kebijakan negara danggap tidak berpihak dapat melahirkan gejolak sosial. Teori-teori sosial mengabarkan bahwa gejolak sosial muncul akibta lahirnya kelompok -kelompok sosial baru nan kritis.
Kehadiran kelompok dengan menamakan diri 'emak-emak' pada kontestasi politik menunjukkan adanya kesadaran ibu-ibu tentang realitas sosial yang mereka hadapi. Namun demikian, kehadiran kelompok emak- emak dapat menjadi komoditas politik yang dapat 'dimanfaatkan' untuk meraih suara dan dukungan, tidak untuk memenuhi aspirasi politik mereka.