32 tim, 64 pertandingan dan diperkirakan kurang lebih 715 juta pasang mata menyaksikan dengan emosi batin berbeda-beda, air mata kebahagian, kesedihan, gejolak sosial antar pendukung tertuang dalam momen ajang Piala Dunia.
Iya, kompetisi sepak bola 5 tahunan ini memunculkan beragam ekpresi emosional bagi seluruh penggemarnya. Akhirnya, Argentina mampu memproklamirkan sepak bola negaranya sebagai sang juara. Timnas ber-emblem La Albiceleste ini merenggut mahkota juara dunia setelah melumpuhkan ayam jantan ( julukan timnas prancis) melalui drama adu pinalti.
Bukan saja membawa pulang trofi berlapiskan emas 18 karat seberat 6 kg, Argentina hampir saja secara absolut membawa pulang seluruh trofi yang disediakan. Dari aspek the best individual player Argentina 'mendonasi-kan' tiga pemainnya yakni penjaga gawang terbaik, pemain terbaik serta pemain muda terbaik. Argentina hanya gagal 'merampas' status top skor di ajang ini.
Striker flamboyan Prancis Kylian Mbappe menjadi pemilik mahkota sebagai pemain dengan status paling banyak merobek jala gawang lawan yang pada pertandingan final saling ber-tala dengan mega bintang dunia, Lionel Messi.
Sebagai penggemar sepak bola, saya tidak berhenti pada tataran sekedar menonton namun mencoba mengambil pelajaran penting dari kompetisi olahraga nomor wahid ini.
Sebuah adagium bahwa membangun liga berkualitas akan melahirkan timnas berkualitas. ini rupanya kurangtepat jika dinilai dari perhelatan piala dunia. Argentina, Kroasia, Prancis bukanlah negara dengan kompetisi lokal terbaik di dunia.
Apalagi jika penilaian ini disematkan kepada Maroco. Jangankan menonton, mendengar liga sepak bola Maroco saja, tidak akrab di telinga para penggemar . Prancis sebagai salah satu kekuatan Eropa, kompetisi lokalnya masih kalah bersaing dengan Liga Inggris, Liga Spanyol, Seri A Italia dan Liga Jerman.
Liga Kroasia, bukanlah kopmpetisi elit eropa! Kompetisi lokal Argentina dan Brasil dikenal bukan karena kompetisinya namun karena lahirnya bakat-bakat lokal yang menjamah panggung kompetisi Eropa yang dikenal liga paling presitius. Italia sebagai Top Five Kompetisi Eropa bahkan dunia tidak mampu berpartisipasi pada episode Piala Dunia Qatar karena gagal dalam babak 'penjaringan' zona eropa.
Mengapa Argentina menjadi Juara? dalil apa yang digunakan untuk megukur keberhasilan Maroco? apakah cukup menilai kepiawaian Luca Modric untuk mengatakan bahwa keberhasilan Koroasi masuk 3 besar dalam perhelatan piala dunia dua kali secara konsekutif karena kompetisi lokalnya? Lalu, Bagaimana nasib timnas Inggris dengan predikat kompetisi lokal paling elit dunia?
Usut punya usut, saya mengambil kesimpulan bahwa untuk membangun kekuatan Timnas sepak bola tidak sekedar kualitas kompetisi domestik, pembinaan, infranstruktur namun juga adanya kemauan mencari tantangan dan pengalaman. bahwa sebaik-baiknya kualitas, ifrastruktur sepak bola seorang pemain harus berani mengambil keputusan untuk go abroad, bermain di kompetisi luar negeri.
Tengoklah Timnas Argentina, 99% pemainnya adalah bermain di liga non domestik, tercatat hanya penjaga gawang cadangan Franco Armani yang bermain di kompetisi domestic. Hal serupa berlaku bagi Timnas Maroco, rata rata berkompetisi di luar Marcoco dan bermain di liga top eropa