Ke Pohuwato... Siang itu panas. Pesawatku tepat waktu. Tumben. Justru penjemputku yang terlambat. Terlihat menunggu di depan counter Trigana Air di Bandara Jalaluddin, aku terus menerus ditawari taksi. Aku berkali-kali menggelengkan kepala,”tidak, saya dijemput.” Karena belum kenal penjemput, aku mengiyakan saja ketika seseorang bertanya apakah aku berasal dari sebuah instansi di Jakarta. Pekerjaanku membuat aku seakan-akan berasal dari dua instansi. Salah satunya, yang disebut oleh seorang pemuda berseragam pegawai negeri sipil yang mengira aku adalah orang yang harus dia jemput. Aku salah. Aku masih harus menunggu beberapa saat lagi. Tidak lama kok, Pak Piti sudah berada di depanku, dan kami segera melaju ke Pohuwato, sebuah kabupaten ke arah selatan Gorontalo. Kami harus berkendaraan selama hampir 3 jam. Ditemani hujan, mendung, dan matahari. Ya, cuaca terus berubah sepanjang perjalanan. Terkadang hujan lebat, hujan rintik, hanya mendung dan tidak jarang terang benderang. Seberagam topografi perjalanan Gorontalo-Pohuwato. Gunung, ladang, hutan bakau, pantai dan pedesaan. Pedesaan yang cantik. Mengingatkan aku pada buku-buku pelajaran membaca waktu sekolah dasar. Aku masih ingat dengan buku yang mengajar aku membaca ini budi, ini ibu budi, ini bapak budi, ini iwan, dan tentu saja kakak budi, wati. Rasanya disitu ibu selalu ditulis ke pasar, tapi aku tidak ingat bapak pergi kemana. Disitu, rumah digambarkan begitu asri dengan pagar kayu dan tanaman serta bunga-bunga di pekarangan. Kerbau dan sapi di sekitar rumah. Dan, itulah pemandangan yang menemaniku siang itu. Bunga kertas di sepanjang jalan. Berwarna-warni. Merah muda, orange, merah tua mewarnai pekarangan rumah. Belum lagi bunga-bunga berwarna kuning dan putih. Pagar kayu dicat putih. Bahkan batu-batu dipinggir jalan dicat putih dan ditata sedemikian rupa. Bahu jalan, yang berupa tanah yang sedikit berpasir itu bersih. Tidak terlihat sampah, bahkan sampah dedaunan kering pun tidak. Sesekali kami berpapasan dengan bendi, mikrolet dan taksi. Jangan salah, taksi disini adalah mobil pick up yang diberi atap terpal, dan penumpang duduk di belakang. Tidak ada argo. Tidak ada nama perusahaan taksi. Jangan juga heran, kalau tumpukan barang di atas taksi maupun mikrolet bisa lebih tinggi dari truk-truk yang melintas di jalan trans-sulawesi itu. Tinggi sekali. Aku bahkan melihat sebuah mikrolet yang membawa motor di diikat di bagian belakang kendaraan. Pos polisi juga aku temukan beberapa kali dalam perjalanan. Setidaknya, lebih banyak dari yang biasa aku temui dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya. Heran juga. Terjawab ketika beberapa orang berkata padaku, bahwa ini trans-sulawesi. Banyak kendaraan truk atau kendaraan angkut lain membawa berbagai jenis barang dari Sulawesi Utara ke Sulawesi Selatan atau sebaliknya. Ikan Bakar Pohuwato Sore itu, jam 3, aku tiba di ibukota Kabupaten Pohuwato. Sore itu, aku belum makan siang. Juga belum makan pagi. Lion Air tidak menyediakan makanan, cemilan ringanpun tidak. Perutku hanya diganjal biskuit yang memang selalu ada di tas. Tapi, aku memang tidak merasa terlalu lapar. Tadinya, aku pikir, aku tidak terlalu lapar. Sampai aku duduk di sebuah rumah makan sederhana, terletak di tepi pantai. Ikan bakar dan udang bakar lengkap dengan cah kangkung tersedia di depan meja. Dan aku menjadi sangat lapar. Aku, Pak Syamsir mitra kerjaku disana, Dokter Agus kepala Puskesmas Marisa, Pak Irfan dari Bappeda Kabupaten Pohuwato, Pak Makmur dari Dinas Kesehatan Pohuwato, Pak Hikmah Kepala Bappeda Kabupaten Pohuwato, Pak Tri Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pohuwato, dan beberapa ibu dari Bappeda Kabupaten Pohuwato. Ikan itu segar sekali. Aku sudah lupa namanya. Dibakar. Bukan ikan yang sudah diungkep baru kemudian dibakar. Dagingnya kenyal dan empuk. Enak sekali. Lengkap dengan sambal dabu-dabu yang segar. Dan, hal yang sudah mulai aku rasa biasa, bahwa disini memesan ikan itu, satu ikan lengkap itu untuk satu orang. Padahal di Bandung, satu ikan pastinya dimakan beramai-ramai. Aku pun selalu heran, aku kok bisa menghabiskan ikan sebanyak itu ya. Mungkin karena memang rasanya enak. Menulisnya saja bikin lapar! Gran Puri bukan Grand Puri Iya, nama penginapan aku malam itu adalah Gran Puri, bukan Grand Puri. Dan, there’s nothing Grand about that place. Terletak di tanah yang luas, bangunan satu lantai itu hampir mirip dengan rumah kos di daerah mahasiswa di Bandung. Sebuah lobi sederhana. Kamar-kamar lengkap dengan tempat tidur, meja rias dan sebuah televisi. Tidak ada bak di kamar mandi, tetapi disediakan ember besar. Airnya payau. Tidak enak rasanya kalau terkena bibir pada waktu mandi. Kamar bersih. Handuk disediakan jika kita minta. Untuk sarapan, sepiring nasi kuning dengan telur rebus dan irisan ikan sudah disiapkan bersama dengan teh yang terlalu manis untuk ukuranku. Teh jawa, kalau pakai istilah aku. Waktu aku datang, penginapan ini sepi. Pagi hari, terlihat ada setidaknya 5 truk ukuran kecil, dan beberapa mobil kijang parkir di halaman. Tidak heran halamannya luas. Mobil-mobil itu, berdasarkan plat mobil, berasal dari Manado, Gorontalo dan Palu, ada satu dua yang berasal dari Makasar. Pagi itu, kami barangkali orang yang keluar penginapan paling pagi. Tidak apa-apa. Aku sudah cukup beristirahat, dan tidak sabar untuk melihat sekolah dan puskesmas yang selama ini hanya aku baca nama-namanya. Simalakama Dana BOS Dana BOS, Bantuan Operasional Sekolah, diberikan sebagai bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat (Buku Petunjuk Pelaksanaan 2005), dan di Buku Panduan 2006 dikatakan, program bantuan operasional sekolah bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun. Pelaksanaan program ini, seringkali seperti buah simalakama bagi sekolah. Coba saja googling dengan kata kunci BOS, akan ada sekitaran 20,000 berita tentang itu. Lebih banyak negatif. Berputar di korupsi dan penyalahgunaan dana, ketimbang keberhasilan dan kesuksesan program. SD Negeri Buntulia Selatan, juga menerima dana BOS. Sangat membantu tetapi juga bisa menghambat. Masalahnya, orangtua tahu tentang dana BOS. Dalam pengertian, sekolah gratis, kan sudah ada dana BOS. Padahal, menurut kepala sekolah, dana itu tidak cukup, tidak betul-betul bisa menutupi biaya-biaya yang dibutuhkan oleh sekolah untuk beroperasi. Ada 294 siswa dari kelas 1 sampai kelas 6. Kepala sekolah dibantu 7 guru tetap, 1 guru honorer, 1 guru kontrak dan 3 tenaga abis, guru sukarela. Kegiatan belajar mengajar dilakukan di 8 ruang kelas yang ada di dalam kompleks SDN Buntulia Selatan. Ibu Yusran Lasimpala adalah kepala sekolahnya. Seorang ibu dengan pengalaman menjadi kepala sekolah lebih dari 20 tahun! Penggunaan dana BOS, dana alokasi khusus (DAK) terpampang di depan ruang kepala sekolah.. Berbagai laporan keuangan yang dijilid plastik mika tersimpan rapi. Siapapun boleh melihat laporan itu. Catatan keuangan rapih dan jelas. Ini membuat kepercayaan orang tua murid meningkat. Sekarang, Ibu Yusran tidak terlalu repot untuk mengundang orang tua murid ke sekolah. “Tidak ada menyurat-menyurat melulu,” katanya walaupun tidak dipungkiri ada juga orang tua murid yang tidak mau ambil pusing dengan urusan sekolah. Padahal dulu dan sekarang di banyak tempat lain, surat dikirim berkali-kali ke orang tua tetap saja lebih banyak yang tidak hadir ketimbang menerima undangan pertemuan itu. Tidak heran, orang tua juga bersedia menyumbangkan dana. Berbeda-beda, tergantung pendapatan mereka. Sekolah mempergunakan dana tersebut untuk membangun rumah ibadah, memperbaiki prasarana sekolah, memperbaiki gerbang sekolah. Ini pun harus dilakukan dengan cermat, karena itu tadi, ada dana BOS. Menjelang penerimaan murid baru, Ibu Yusran mulai kewalahan. Permintaan menjadi siswa baru meningkat. SDN Buntulia Selatan bukanlah SD favorit, tapi tampaknya mulai menarik perhatian banyak pihak. Padahal, ruang kelas dan guru terbatas. Saat ini saja, sudah ada 58 siswa di kelas 1. Beberapa siswa harus duduk bertiga di bangku yang sebetulnya diperuntukan hanya untuk dua siswa. Kepala sekolah tidak bisa memutuskan sendiri. Ibu Yusran lebih ingin agar siswa dibatasi, tetapi komite sekolah berharap semua permintaan diterima. Kalau perlu, menurut komite sekolah, kelas 1 dijadikan 2 unit. Tidak semudah itu, karena tenaga guru sangat minim. Banyak guru yang ditarik menjadi pegawai negeri sipil, ketika Gorontalo menjadi propinsi baru, dan Pohuwato menjadi kabupaten yang terpisah. Meminta tenaga baru berarti waktu yang panjang. Permintaan sudah dilakukan, tetapi realisasi tampaknya masih jauh di depan mata. Memang, makin banyak murid berarti jatah dana BOS bertambah. Uang sebesar 117.500 rupiah diberikan per murid, per siswa, per anak untuk tingkat sekolah dasar. Siapa tidak tergiur? Padahal, ada surat edaran dari kepala cabang dinas pendidikan bahwa murid di dalam satu kelas tidak boleh lebih dari 35 siswa. Ibu Yusran punya PR yang harus diselesaikan dalam satu bulan ke depan. Aku tidak tahu apa keputusan Ibu. Aku hanya tahu, bahwa senyum murid-murid harus selalu ada, dan aku berharap pendidikan akan tetap mereka peroleh dengan kualitas terbaik. Marisa si Tua Tua Keladi Kata-katanya selangit, tersenyum penuh misteri. Itu Anggun yang berbicara. Di Marisa, si tua tua keladi ini juga punya senyum yang menarik dan penuh misteri. Tunggu dulu, ini bukan pria tua yang asik menggoda perempuan, tetapi ini sebuah puskesmas. Nama puskesmas itu Marisa. Sudah tua. Tembok di bangunan depan sudah terkelupas. Lantai sudah tua. Ruangannya kecil-kecil. Agak lembab. Walaupun kalau dari jauh, kekurangan-kekurangan itu tidak terlalu tampak. Tidak heran jika Dokter Agus, kepala puskesmas, berkata ini seperti tua tua keladi. Dokter Agus memutuskan untuk menukar ruang rawat inap yang berada di bangunan belakang dengan ruang rawat jalan yang awalnya menempati bangunan depan, yang sudah tua itu. Karena,”hanya sedikit yang dirawat inap disini,” dan lebih banyak yang rawat jalan. Bangunan di belakang lebih bersih, lebih segar dan lebih lapang. Melewati sebuah lapangan voli, akan dihadapkan dengan jejeran ruangan. Untuk mulai memperoleh perawatan, pasien harus menunggu di ruang ketiga dari kanan, ruang pendaftaran. Hari itu, hari Kamis, hari pemeriksaan untuk ibu hamil. Ada lebih dari 5 ibu hamil. Menggembirakan. Maklum kasus kematian ibu melahirkan masih tinggi. Pemeriksaan rutin bisa membantu menekan angka kematian. Itupun tidak mudah karena sulit sekali mendorong seorang ibu melahirkan di rumah sakit. Mereka lebih suka melahirkan di rumah. Dengan bantuan dukun beranak. Konon, ini masalah budaya, masalah kebiasaan. Suami dan keluarga adalah pihak yang paling keras menolak ajakan untuk melahirkan di rumah sakit. Padahal, sering sekali si ibu punya resiko tinggi untuk melahirkan. Tekanan darah tinggi, posisi bayi yang melintang, pinggul yang sempit adalah beberapa hal yang menjadikan seorang ibu beresiko tinggi. Tidak heran, aku bisa bertemu seorang ibu yang sudah hamil 7 bulan tetapi baru pertama kali memeriksakan kandungannya di puskesmas. Selama ini, tidak pernah diperiksa.”Tidak ada masalah apa-apa, kok, lagi rumah jauh dari puskesmas,” alasan itu yang diberikan. Sang suami, pengemudi ojek, menunggu di depan puskesmas. Jarak puskesmas dan rumah sekitar setengah jam dengan mempergunakan motor. Tugas Dokter Agus, kepala puskesmas, memang tidak mudah. Dokter yang masih muda ini penuh semangat. Ada-ada saja ide yang dilontarkan untuk mencoba membuat Puskesmas Marisa menjadi lebih baik. “Tidak mungkin semua budaya Jawa dipindahkan kesini, kami ambil positifnya dan disesuaikan dengan kemampuan kami disini,” komentarnya terhadap kunjungan yang dilakukan ke Yogyakarta beberapa waktu lalu. Karena itu, ia tidak serta merta menerapkan begitu saja hal-hal yang ia lihat di Yogya. Apalagi, “kita punya masyarakat dengan akses informasi yang lebih cepat, sedangkan kita tidak sanggup menggimbangi kecepatan itu.” Dokter Agus menyebarkan kuesioner, kepada pasien, kepada pegawai puskesmas. Ia bertanya dan belajar dari semua pihak. Tidak jarang, ia menemukan hal-hal yang membuatnya bertanya-tanya. Antara lain, bahwa masih ada pegawai puskesmas yang memilih menceritakan masalah di puskesmas kepada suami dan istri ketimbang ke kepala puskesmas, yaitu dirinya. Pekerjaan rumah harus dilakukan dengan tenaga medis yang terbatas dan kualitas pegawai yang juga terbatas. Dokter PTT lagi-lagi menjadi harapan. Bukan saja harus terus bekerja keras membantu ibu hamil untuk bisa melahirkan dengan selamat, tetapi juga mulai harus menghadapi AIDS. Maklum, ada trans-sulawesi. Supir truk dan tempat peristirahatan dan tentu saja bayang-bayang ancaman AIDS mulai menghadang. Mudah-mudahan semangat Kepala Puskesmas yang masih muda ini, tidak lekas padam Si Bungsu Gorontalo Gorontalo, memang propinsi baru. Desember tahun 2000, ia melepaskan diri dari Sulawesi Utara. Makanya, masih banyak Bank Sulut di berbagai tempat di Kota Gorontalo maupun di luar kota. Kantor gubernurnya besar. Terletak di puncak bukit. Megah. Mewah. Kompleks perkantoran belum selesai. Tapi jalan lebar yang berbelok dan menanjak sudah diaspal. Melewatinya di malam hari, akan ditemani bintang-bintang. Maklum, tidak banyak lampu kecuali dari gedung DPRD dan gedung kantor gubernur. Gorontalo sendiri kota yang bersih. Kota, tapi masih bisa lihat sapi di beberapa pojok. Kota dengan bentor. Becak motor. Seperti di Banda Aceh, tapi yang ini tertutup, dan supir berada di belakang becak, bukan di samping becak seperti di Banda Aceh. Jangan anggap remeh supir bentor. Menurut Pak Syamsir, ada guru-guru yang “narik” bentor setelah jam mengajar selesai, untuk tambah-tambah penghasilan. Lumayan, mereka bisa memperoleh sekitar 15 ribu rupiah sehari. Dikali setidaknya 20 hari saja, sudah menjadi tambahan lumayan bagi gaji guru yang hanya sekitaran 1 juta rupiah itu. Aku bisa berjalan kaki di kota ini. Sesuatu yang nyaris jarang aku lakukan selama kunjungan-kunjungan monitoring selama ini. Mencari warnet menjadi alasan, sesungguhnya aku hanya ingin berjalan kaki. Menghirup udara segar tanpa AC. Melemaskan kaki. Melihat berbagai sudut kota. Dan mencoba naik bentor. Menurut beberapa orang, aku bertambah hitam pulang dari sana. Tidak apa-apa. Aku justru suka itu. Hitam kulit sih tidak apa-apa, asal jangan hati yang hitam, ya. Tulisan ini dibuat hampir 3 tahun yang lalu, di pertengahan 2007. Sudah dipublikasikan di blog pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H