Lihat ke Halaman Asli

Kisah Toko Kitab Salim Nabhan

Diperbarui: 27 Oktober 2018   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Khuzaima

SEKITAR awal abad 20, seorang perantau Hadramaut bernama Salim bin Sa'ad Nabhan, tiba di Surabaya. Tujuan awalnya mungkin hanya mencari kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di tanah asalnya di Yaman. Akan tetapi ketika kolonialisne Barat semakin hari semakin membuat penduduk di kepulauan Nusantara menderita, tujuannya tak lagi sekadar mencari keuntungan materi, ia turut melakukan perlawanan.

Jika umumnya diaspora Hadramaut yang tinggal di Nusantara hidup dari berdagang pakaian dan peralatan ibadah, Salim menyempal dari kebiasaan itu, ia berdagang kitab—sebuah pilihan yang justru tepat mengingat jumlah mayoritas umat Islam dengan banyaknya pesantren dan madrasah yang dimilikinya, namun tak ada satu pun toko buku dan penerbitan yang mencetak kitab-kitab pelajaran yang dibutuhkan.

Salim memulai bisnis kitabnya dari kaki lima. Sampai saat usahanya mulai berkembang dan mendapat keuntungan yang memadai, ia membeli sebuah bangunan yang ia jadikan toko dan diberi nama Toko Kitab Salim Nabhan. Keberadaan toko kitab Salim disambut gembira. Kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi kebutuhan belajar umat Islam, khususnya kaum santri, berangsur tersedia di tokonya.

Selain menjual kitab-kitab berbahasa Arab yang diimpor dari penerbit-penerbit besar di Mesir, Suriah, dan Lebanon, Salim juga membuka percetakan dan mulai mencetak dan menerbitkan sendiri kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Nusantara, baik ulama terdahulu maupun ulama yang hidup sezaman dengannya, baik yang ditulis dengan bahasa Arab maupun bahasa lokasl seperti Melayu, Jawa, dan Madura yang menggunakan aksara Arab (pegon).

Kitab-kitab yang dicetak dan diterbitkan Salim Nabhan di antaranya adalah kitab Kifayat ut-Thullab, sebuah kitab yang meringkas teori-teori fiqih (yurespendensi Islam) yang disarikan oleh Kiai Abul Fadl dari Senori berdasarkan kitab rujukan utama dalam bidang tersebut yaitu Al-Asybah wa an-Nadzair karya Syaikh ul-Islam Jalaluddin as-Suyuthi (w 15015 M), lalu ada kitab Fath ul-Qadir fi Ajaib il-Maqadir mengenai ilmu dan timbangan yang disebut metrologi dan surveying yang ditulis oleh Kiai Ma'sum Ali Jombang, kitab Mawa'idz us-Shalihin yang berisi nasihat orang-orang saleh berdasarkan hadits Nabi yang ditulis Tuan Guru Soleh Hambali asal Lombok, dll.

Ketika gaung Pan-Islamisme sebagai respon atas hegemoni Barat sampai ke Nusantara, Salim terlibat dalam penyebaran majalah Al-Manaar. Majalah yang terbit di Mesir itu, disamping berisi pemikiran-pemikiran Islam progresif, juga memuat ulasan-ulasan mengenai kolonialisme Belanda di Nusantara. Ulah Salim tentu saja membuat pihak Belanda geram. Melalui Gubernur Hindia Belanda di Jawa Timur, Charles Olke Van der Plas, sensor diberlakukan. Semua kitab, surat kabar, dan majalah yang diimpor Salim, harus dibaca terlebih dahulu oleh Van der Plas yang memang menguasai bahasa Arab, sebelum diperjualbelikan.

Tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, Salim bin Sa'ad Nabhan meninggal dunia. Akan tetapi toko kitab yang berada di Jalan Panggung di wilayah Ampel Surabaya yang sampai hari ini masih tetap eksis di tangan generasi penerusnya itu, akan terus dikenang sebagai toko kitab yang tidak hanya berjasa dalam memajukan dunia pendidikan, tapi juga dalam membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Wallahualam. [ff]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline