Frans Kaisiepo, Papa Frans memberikan nama yang bagus seperti tokoh yang bersejarah di Papua untuk anak tunggalnya itu.
Dia sangat mengidolakan Frans Kaisiepo, tokoh Papua yang namanya diabadikan sebagai bandara. Sejak lahir papa berharap banyak dari Frans. setelah lulus sekolah menengah pertama papa berjuang mati-matian untuk menyekolahkan Frans ke Pulau Jawa karena menurut papa di Jawa banyak lahir orang pintar. Papa termasuk orang yang sadar pentingnya pendidikan meskipun papa Frans tidak pernah sekolah. Di Papua waktu itu jarang ada sekolahan, jika ingin sekolah Papa Fran harus berjalan berkilometer jauhnya. Papa Frans pandai bergaul, dari orang pedalaman sampai gubernur ia kenal dari situlah papa Frans belajar.
"Baik-baik Frans di Jawa, cari ilmu yang tinggi, kemudian pulang dan pimpin tanah surga ini" pesan papa ketika mengantarkan Frans yang berangkat ke Jawa, mama hanya menangis sambil memeluk Frans. Kini tangan mama tidak sampai ketika memeluk Frans, ia telah tumbuh besar.
"Patuhi mamatua di Jawa, jangan nakal, jangan cari orang Jawa..." mama menyeka air matanya dengan kemeja Frans, Frans hanya mengangguk-angguk.
"Ingat kata mama Frans, cari pasangan orang sini saja" mama mengulangi lagi.
Kepala Frans menyembul di antara keramaian, sedikit agak basah karena tebal rambut keritingnya. Ia berdesak-desakan di jalan beraspal panas bersama ribuan orang lainnya. Satu jam sudah, ia menunggu datangnya arak-arak budaya yang digelar pemerintah Semarang. Hanya tahun ini pemerintah menggelar kreasi budaya bangsa Indonesia lengkap. Tahun-tahun sebelumnya hanya perayaan budaya daerah setempat dan di tahun-tahun sebelumnya Frans hanya merindui kotanya lewat surat atau telepon. Ongkos pulang terlampau mahal.
Ada angin sepoi-sepoi berhembus dari rindangnya pohon-pohon di tepi jalan, tetapi keringat masih mengguyur basah. Panas, penat, dan gerah bercampur dengan rasa tidak sabarnya. Kata orang-orang hari ini adalah kirab budaya Indonesia. Frans yang belum penuh seluruh mengenal Indonesia bersemangat melihat karnaval ini. Ada penjual es keliling menjejal ikut berdesakan dalam keramaian, suaranya cempreng seperti terompet sumbang ketika meneriakkan dagangannya. Frans menyeka peluhnya, disampingnya ada bule yang sibuk membidik lensa kamera ke arah yang dia suka. Muka bule yang semakin merah bak kepiting rebus itu masih banyak herannya. Mungkin saja tidak pernah si bule melihat lautan manusia. Gadis mungil berkerudung merah berkali-kali berbicara hampir berbisik di telinga si bule, bukan pacarnya, mereka kurang akrab, kali saja penerjemah si bule. Suara marching band terdengar sayup pertanda arak-arakan akan segera datang mendekati Frans. Hatinya riang, tidak dihiraukan perut keroncongan ataupun kaosnya yang basah.
Tukang es cendol sampai penjual bakso berjajar rapi di tepian trotoar, sinar matanya bersemangat menjajakan jualan yang sedari tadi ditata rapi-rapi. Beberapa penjual meneriakan dagangan, beberapa lainnya hanya duduk khidmat menunggu pembeli. Beberapa bocah melongok dibalik himpitan orang dewasa karena tertarik oleh salah satu jajanan nan menggoda. Frans ikut melongok sebentar melihat si penjual menuangkan es cendolnya ke dalam plastik, aduhai sekali jika butiran-butiran es nan manis itu ada di mulut frans dan masuk ke tenggorokan, Frans hanya menelan ludah karena pagar betis sudah sekokoh tembok cina. Hampir semuanya kompak menatap gerak-gerik Frans yang memang lebih menonjol dibanding yang lainnya.
Pembawa tongkat marching band berliuk-liuk gemulai, wajahnya rupawan. Beberapa kali melambung-lambungkan tongkat dan menangkapnya erat. Dari kejauhan ada papan yang bertuliskan Papua, Frans kembali bersemangat, telah lama ia ingin pulang Papua, lima tahun sudah ia meninggalkan mama dan papa di Papua, baru sekali saja ia pulang. Sekali lagi badannya merangsek ke depan berjejalan dengan penonton lainnya, ia ingin merasakan nuansa Papua di Jawa.
Papua, negeri seribu pesona yang terletak di ujung timur Indonesia dengan pegunungan Jayawijaya yang menjulang tinggi tersebut menawarkan harta karun yang melimpah.