Lihat ke Halaman Asli

Soal Pesawat Ma-60, Bermasalahkah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum berita celakanya pesawat buatan Cina milik maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines, didengar oleh khalayak, sebuah majalah Nasional telah merilis pemberitaan mengenai sejumlah permasalahan yang muncul dalam pengadaan 15 unit pesawat MA-60 yangbelum mendapat sertifikasi dari FAA itu. Dari berita yang diturunkan tersebut, sebenarnya sudah dapat dianalisa, bahwa perkara ini memang harus ditanggapi secara serius, bukan ketika sudah terjadi kecelakaan, namun jauh hari sebelum semuanya terlanjur terjadi. Dan lagi-lagi ini bukanlah kesalahan Xian Aircraft Industry Co.Ltd sebagai produsen pesawat baling-baling ganda tersebut, melainkan ini adalah keteledoran kita menyikapi sejumlah borok yang menggerus bangsa ini. Mari kita simak berita apa yang diturunkan majalah Nasional bernama TEMPO tersebut.

Berita tersebut diberi Judul, “Merpati Jangan Ingkar Janji. Perusahaan Cina menggugat Merpati Nusantara Airlines ke pengadilan Arbitrase. Renegosiasi harus segera dilaksanakan.” Dirilis pada 15 Februari 2009, hal 25. Artinya berita ini diturunkan sudah dua tahun yang lalu. Lalu apa isinya?

Alinea pertama dalam berita tersebut berbunyi. Pemerintah harus bergerak cepat menyelesaikan persoalan ini. Ancaman Xian Aircraft Industry Co.Ltd untuk menggugat PT. Merpati Nusantara Airlines ke pengadilan arbitrase, karena dinilai melakukan wanprestasi, harus ditanggapi secara serius. Jika perkara ini sampai ke pengadilan arbitrase, tak hanya ada kemungkinan pemerintah akan kalah dan membayar ganti rugi, tapi nama Indonesia juga akan tercoreng. Dalam kasus listrik swasta, Indonesia juga pernah kalah dalam pengadilan arbitrase.

Mari sejenak menganalisa temuan dalam alinea pertama. “...tak hanya ada kemungkinan pemerintah akan kalah dan membayar ganti rugi”. Kalimat ini setidaknya memiliki arti bahwa posisi pemerintah Indonesia memang berpotensi kalah, dahi kita boleh berkenyit kalah karena apa? Siapakah Xian Aircraft Industry Co.Ltd? Ada masalahkah antara pemerintah dan pihak Merpati sehingga Xian berang dan akhirnya berinisiatif menggugat?

Tentu karena sejumlah tindakan yang dinilai Xian Aircraft Industry sebagai implementasi wanprestasi. Pada alinea pertama ini sudah terendus kemungkinan bahwa ada yang tidak beres dalam pengadaan MA-60. Sehingga muncul asumsi akan adanya pihak yang menang dan ada pihak yang kalah, kok?

Kemudian alinea selanjutnya berbunyi. Xian jelas mempunyai hak memperkarakan maskapai penerbangan milik negara itu. Merpati dinilai ingkar janji karena tak kunjung memenuhi kewajibannya menyelesaikan pembayaran 15 pesawat yang mereka pesan. Padahal pesawat itu telah selesai dibuat, bahkan dua diantaranya telah beroperasi di Indonesia. Xian mengancam membawa perkara ini ke arbitrase internasional.

Pada 2006 Merpati sudah menandatangani kontrak pembelian 15 pesawat jenis MA-60 itu dari Xian. Merpati yang pernah berjaya pada 1980-an, berupaya ingin membenahi bisnisnya setelah lama “tidur panjang”. Pesawat made in Cina yang total harganya sekitar Rp 2 triliun itu akan digunakan melayani rute-rute di wilayah Indonesia timur. Pilihan ini cukup strategis mengingat rute itu tidak banyak dilirik oleh maskapai penerbangan lain.

Program pun disusun. Untuk pembelian pesawat berkapasitas 50 penumpang itu, Merpati mendapat pinjaman dari Exim bank Cina. Penawaran Exim diterima dengan pertimbangan antara lain, bunganya rendah yaitu 2,5 persen setahun, dan jangka waktu pengembaliannya longgar yakni 15 tahun. Skema pembelian ditetapkan dengan dasar government to government (G to G).

Anehnya hal-hal yang mestinya dipikirkan sebelum kontrak justru muncul belakangan. Harga pesawat dianggap terlalu meahal. Merpati pun ternyata hanya butuh delapan pesawat. Skema pembelian juga dianggap tidak tepat. Wakil presiden Jusuf Kalla meminta sistem pembelian diubah menjadi sewa (leasing). Departemen keuangan juga belum menyetujui subsidiary loan agreement (SLA) pembelian pesawat tersebut. Alhasil urusan penyelesaian pembayaran pesawat yang sebagian onderdilnya dibuat oleh perusahaan Amerika ini pun menggantung.

Perlu digaris bawahi bahwa, posisi Merpati Nusantara Airlines saat berita tersebut di rilis sudah menandatangani kontrak dengan klausul diantaranya, bahwa “pihak” Merpati cocok dengan harga yang ditetapkan dalam kontrak tersebut. Termasuk Spesifikasi pesawat, cara pembayaran, bahkan skema pembelian pesawat. Sedangkan ketika usulan Wapres pada saat itu meminta bahwa sistem pengadaan pesawat MA-60 diubah menjadi leasing, jelas bukan perkara yang mudah. Yang lebih mencengangkan bagi kita adalah, Departemen keuangan pada saat itu belum menyetujui SLA untuk pembelian pesawat tersebut, namun pihak Merpati sudah menandatangani kontrak dengan Xian. Dalam benak saya kenekatan ini bisa jadi disebabkan oleh oknum yang ingin mengeruk keuntungan dari pengadaan pesawat made in cina ini dengan sok paham dengan keadaan Merpati Nusantara Airlines, kemudian melangkahi pihak-pihak yang dianggap sebagai kunci dalam pengadaan pesawat tersebut. Yang jelas sangat-sangat aneh jika klausul yang disepakati antara pihak Merpati Nusantara Airlines dengan Xian, pada akhirnya malah jadi polemik di area domestik Indonesia. Berarti ada miss understanding, nah,lalu siapa yang menandatangani kontrak tersebut? Sudah adakah pembicaraan dengan pihak Pemerintah soal klausul yang menjadi kesepakatan Merpati dan Xian secara matang?.

Yang membuat kita semakin bingung adalah, gejala penyakit yang kemudian kita rasakan bahwa pesawat made in Cina tersebut belum bersertifikasi FAA. Lalu mengapa bisa diloloskan dan kontrak pengadaanya pun di teken “pihak” Merpati?. Siapa yang mengecek kelaikan tender pengadaan ini?. Anak SD kah atau para insinyur?

Alinea selanjutnya berbunyi. Persoalan domestik Indonesia itu tentu bukan urusan Xian. Bahwa skema pembelian dinilai tidak pas, jelas bukan kesalahan Xian. Merpati tentu sudah memiliki konsekuensi dari perjanjian itu, seperti seharusnya mereka sudah mengecek kualitas pesawat. Sepanjang tidak ada klausul yang dilanggar oleh Xian dalam kontrak, Merpati tidak punya pilihan selain memenuhi kewajibannya. Merpati tak boleh ingkar janji.

Oh, kalau begitu bisa jadi benar ada miss understanding, antara Merpati dan Pemerintah. Pemerintah kemudian hari mengatakan skema pembelian tidak pas. Ada perumpamaan istilah. Seorang bapak tiba-tiba menegur kita karena anaknya menyewa Playstation dengan uang SPP. Sebagai pemilik persewaan tentu bukan urusan kita uang itu diperoleh si anak dari mana. Begitu juga dengan Xian, jika kemudian Xian dipermasalahkan oleh pemerintah karena ulah Merpati, maka Xian tidak akan mau tahu. Karena mau tak mau Merpati tetap harus bayar. Baik dengan skema yang bagaimana, uang dari mana, selama Xian telah menepati klausul dan membuat “puas” Merpati, maka persoalan domestik bukan urusan Xian. Lagi-lagi pemerintah Indonesia harus menelan pil pahit dengan ulah bangsanya sendiri. Sekali lagi, pengadaan MA-60 bermasalah.

Di alinea terakhir ditulis. Tentang adanya dugaan markup dan kongkalingkong dibalik pembelian pesawat Cina itu, disarankan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan menyelidikinya.

Dan, KPK baru bangun dari tidur panjangnya selama dua tahun untuk membuka lembaran persoalan MA-60 ini setelah satu dari pesawat ini ditelan bumi. Apakah harus dengan metode ini bangsa kita diingatkan?. Jangan-jangan pengadaan berbagai aset negara juga sarat dengan unsur KKN. Apakah harus menunggu semuanya celaka terlebih dahulu sehingga investigasi baru dijalankan. Apa sebenarnya yang terjadi pada MA-60. Pesawat yang tak bersertifikat FAA itu bisa terbang dan membawa nyawa anak negeri, rupiah bertumbal nyawa. Dan setelah banyak permasalahan yang membelit pengadaan MA-60 tersebut, nyatanya 15 unit pesawatnya sudah berada di Indonesia kini. Apa dan bagaimana dengan pengadaan pesawat ini?cukup dengan menunggu penjelasan dari Menteri Perdagangan kah? Atau mendudukkan perkara ini bersama-sama, antara pihak yang terlibat yakni Pemerintah (Kabinet IB 1 dan 2)-PT. Merpati Nusantara Airlines-Xian Aircraft Industry Co.Ltd-dan Masyarakat. Semuanya harus dijelaskan lembar demi lembar perjalanan MA-60 itu hingga sampai ke negeri kita. Yang jelas, dari unit yang dibutuhkan pihak Merpati secara riil dengan yang dipesan ada miss yang tidak sedikit, pemerintah bukan sedang membayar kacang goreng saat itu pemerintah sedang membeli pesawat terbang. Dan anehnya pemerintah selalu dalam kata “iya”. Buktinya, meski sarat permasalahan sejak dua tahun lalu berita tersebut di rilis, toh akhirnya 15 unit pesawat MA-60 tetap bisa beroperasi di Indonesia, berkomunikasi dengan ATC di berbagai bandara, dan memungut rupiah sebagai imbalan bisnis bertabur nyawa.

Ya, karena pemerintah tak berdagang gorengan dulu di pulogadung untuk mendapatkan uang sebanyak itu, melakoni pemanggul kayu di belantara hutan Blora, dan mendorong gerobak nasi di emperan Jogja.Dan akhirnya Rakyat lah yang sering jadi korban kebijakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline