Beberapa saat yang lalu ketika saya ikut mempromosikan kampanye RUU PRT (Pekerja Rumah Tangga ya bukan Pembantu Rumah Tangga), saya mendapatkan pertanyaan maupun kritikan bahkan menjadi debat kusir dari beberapa teman di media sosial. Tentu mereka yang memprotes ini adalah para Majikan yang sering dikecewakan oleh PRT dan mempunyai prejudice terhadap PRT. Mereka mengatakan dari 10 PRT yang betul-betul baik hanya 2 orang saja, sisanya kalau nggak mencuri ya pemalas, nggak bisa bekerja, jorok dan kadang minggat! Begitu katanya.
Meskipun ada beberapa juga yang mengatakan bahwa mereka sudah memenuhi semua stndart kelayakan dan kepantasan buat PRT dan menganggap isu diskriminasi terhadap PRT itu basi. Mereka mengatakan sudah memperlakukan “asisten rumah tangga” dengan baik. Padahal kalau dipikir asisten harusnya gajinya lebih besar daripada pekerja rumah tangga dan memiliki kewenangan yang lebih luas karena dia adalah asisten dari tuan rumah. Tetapi pada kenyataannya itu hanyalah istilah yang enak didengar saja.
Ketika menghadiri acara diskusi dengan teman-teman PRT, saya mendengar cerita dari beberapa teman PRT di Jakarta. Mereka mengatakan di beberapa apartemen para PRT dilarang menggunakan lift bersama penghuni dan juga dilarang berjalan di lobby. Mereka harus lewat basement untuk keluar. Ada beberapa penghuni ketika bersama dengan mereka di dalam lift langsung menutup hidung dan berdiri jauh-jauh dari mereka, seakan-akan takut tertular. Dan beberapa sekolah International para PRT dilarang duduk di tempat yang disediakan ketika menjemput.
Hari ini saya mendapat curhatan dari seorang teman yang kebingungan karena lebaran nanti PRT nya pulang kampung dan dia bingung mencari pengganti PRT sementara. Dia bertanya apakah saya punya kenalan agen PRT atau punya kenalan PRT yang mau bekerja sementara ketika lebaran. Dia siap membayar mahal bila ada, padahal gaji PRTnya sendiri jauh dibawah standart UMR. Dia bilang kalau dia menggaji tinggi, dia akan dimusuhi ibu-ibu satu komplek dan dianggap merusak pasaran gaji PRT di lingkungan tersebut. Padahal teman saya itu ketika tinggal di Sydney, semua dia kerjakan sendiri dan tidak pernah menggunakan PRT. Bahkan dia juga pernah bekerja menjaga anak dan bersih-bersih rumah ketika mendapat beasiswa kuliah di California.
Praktik menyebut para pekerja rumah tangga sebagai pembantu memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan para majikannya, tidak jarang orang mengajak keluarga jauh dari desa untuk membantu bekerja di rumah mereka. Sebagai gantinya, para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan paternalistik, di mana mereka melindungi, memberi makan, tempat tinggal, pendidikan dan memberikan uang saku kepada pekerja rumah tangga sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. (Di Jawa, praktik ini disebut ngenger) Aspek paternal dari hubungan kerja ini, yang dipadukan dengan fakta bahwa kebanyakan tugas dilaksanakan di dalam rumah keluarga dan tidak dianggap produktif secara ekonomi, berarti bahwa budaya Indonesia secara umum memandang hubungan ini sebagai hubungan yang bersifat pribadi.
Perjuangan Jala PRT dalam mengajukan RUU PRT ke DPR sudah 11 tahun mulai tahun 2004 dan tidak menunjukan adanya tanda-tanda dari anggota DPR untuk membahas dengan serius. Para anggota DPR yang saya percaya pasti mempunyai PRT dan menjadi majikan di rumahnya seperti takut bila RUU PRT disahkan akan mengganggu ketenangan mereka semua. Salah satu hasil riset SCN tentang "Mobilizing Voices for Domestic Worker Protection in Indonesia" juga ditemukan keberatan para Profesional terhadap aturan dalam RUU PRT mengenai jam kerja. Mereka beranggapan bahwa pekerjaan mereka di kantor 8 jam dan di tambah perjalanan pulang dan pergi bisa mencapai 12jam atau lebih. Sementara pemerintah tidak pernah menyediakan fasilitas day care untuk anak-anak.
Kenapa banyak orang yang keberatan dengan RUU PRT? Mungkin Kita bisa melihatnya dari teori kelas Stratifikasi Sosial, yang secara umum memiliki arti perbedaan masyarakat atas lapisan-lapisan (kelas-kelas secara bertingkat), yang mana kelas tersebut dapat terbentuk karena tergantung sedikit banyaknya jumlah sesuatu yang dihargai oleh masyarakat. Misalnya, Jika masyarakat lebih menghargai materi, maka kelas yang paling tinggi adalah orang-orang yang dapat mengumpulkan materi sebanyak mungkin, sedangkan mereka yang sedikit atau tidak memiliki materi apa-apa berada pada kelas paling bawah.
Sedangkan teori Stratifikasi Sosial menurut Karl Marx, Teori kelas adalah sejarah dari segala bentuk masyarakat atau sejarah peradaban umat manusia dari dulu hingga sekarang yang disebut dengan sejarah petikaian antar golongan /konflik antar kelas. Pandangannya tentang Stratifikasi sosial yaitu kelas-kelas memiliki karakteristik dimana adanya solidaritas yang spontan sampai tingkat tertentu terhadap kelas-kelas lain. Di dalamkelas harus terdapat benih-benih kesadaran kelas yaitu suatu benih kepentingan bersama. Kelas yang ada itu sendiri disebut dengan class in itself , apabila kelas itu sadar akan tempatnya di dalam proses produksi, maka timbulah kelas bagi dirinya sendiri yang disebut dengan class for itself. Kelas-kelas ini tergantung satu sama lainnya. Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain akan tetapi kelas-kelas ini tidaklah sederajat.
Sedangkan Teori Surplus Gerhard Lenski yang berorientasi materialistis dan berlandaskan teori konflik yang berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya. Individu berperilaku menurut kepentingan pribadi, bekerja sama dengan sesama jika terkait dengan kepentingannya dan akan berebut dengan sesama jika melihat kesempatan terbuka bagi kepentingannya.
Masalah PRT ini sudah ada sejak jaman Belanda. Kepemilikan budak (dengan klasifikasi pekerjaan yang jelas) dianggap suatu prestise dan menunjukan kekayaan atau kedudukan seseorang. Tetapi setidaknya di Jaman Belanda ada peraturan dan undang-undangnya yaitu Regerings Reglement (RR) tahun 1818 (semacam Undang-undang Dasar Hindia Belanda) pada pasal 115 memerintahkan supaya diadakan peraturan-perturan mengenai perlakuan terhadap keluarga budak. Peraturan pelaksananya dimuat dalam Staatsblad 1825 No.44 ditetapkan bahwa : 1. Harus dijaga agar anggota-anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama, maksudnya seorang budak yang telah berkeluarga tidak boleh dipisahkan dari istri dan anaknya. 2. Para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka. 3. Penganiayaan seorang budak diancam dengan pidana berupa denda antara Rp.10,00 dan Rp.500,00 dan pidana lain yang dijatuhkan oleh pengadilan untuk penganiayaan biasa .
Sedangkan sekarang tidak ada peraturan yang jelas mengenai pekerja rumah tangga, undang-undang tenaga kerja tidak mencakup pekerjaan rumah tangga. Meskipun ada daerah yang memasukan prt dalam peaturan daerah seperti lombok timur dan juga ada beberapa majikan yang mulai menggunakan kontrak tertulis kepada prt, tetapi itu semua karena adanya advokasi dari prt yang terorganisir kepada yayasan penyalur. Secara nasional perlindungan hukum kepada prt sangat minim dan hampir bisa dikatakan tidak terlindungi secara hukum. Karena masalah PRT dianggap tidak penting dan tidak mendesak dibandingkan masalah lain.