Lihat ke Halaman Asli

PM Tangke

Tokoh Agama

Kristologi: 33 Gambaran Yesus Kristus

Diperbarui: 4 April 2017   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13342424811366033004

Istilah “Kristologi” berasal dari bahasa Yunani “Christos/Kristus” dan “logos/ilmu”. Kristologi merupakan cabang dari ilmu teologi, logos mengenai Kristus, pemikiran dan ucapannya mengenai Yesus Kristus, sasaran iman kepercayaan Kristen (Groenen, 1992:13). Kristologi adalah pemahaman dan kesaksian iman yang diekspresikan melalui refleksi teologis. Di dalam merumuskannya, Kristologi menjadi suatu ungkapan iman yang dibangun sebagai kerangka berpikir analistis-sintesis manusia. Hal ini terjadi karena Kristologi adalah juga fides quarens intellectum, yaitu iman yang dapat dipahami secara intelektual atau iman memberikan pemahaman pada pemikiran intelektual. Kristologi, sebagai bagian teks teologi, dapat direinterpretasi dan direformulasi guna memperoleh makna yang aktual dan relevan di setiap kondisi dan bidang kehidupan (Tobing, 2004:6). Ada banyak istilah personafikasi metaforis untuk menggambarkan figur Yesus Kristus, seperti yang akan disebutkan berikut ini. (Mengenai istilah linguistik personafikasi-metaforis, lihat: Pradopo, R. Djoko, 1999:66-75; Verhaar, J.M.W., 1999; Rahmanto, B., 1992; Keraf, Gorys, 2001:139-140).

  1. Kristologi From Below. Kristologi from below atau Vonunten (dari bawah) berarti bahwa refleksi eksistensial umat beriman sekitar Yesus Kristus berpangkal pada pengalaman dengan Yesus selagi hidup di dunia. Yesus dialami sebagai manusia ditengah manusia lain, dan Ia mengalami nasib buruk seperti yang dapat menimpa manusia fana. Jalan pemikiran dari bawah ini seolah-olah naik dari bawah (manusia) ke atas (Allah). Kristologi ini sepenuhnya-penuhnya dapat mengevaluasikan manusia Yesus serta hal ihwal-Nya. Yesus secara menyeluruh manusia, meskipun bukan manusia “biasa” saja. Yesus yang selagi hidup dialami sebagai manusia, setelah wafat ternyata bukan manusia belaka. Yesus dapat dinilai sebagai Nabi atau Mesias, yang melampaui pengertian Yahudi. Manusia Yesus dari Nazaret setelah wafat` menjadi ilahi (Kristus/Mesias dan Tuhan). Kristologi from above memulai dengan Yesus dari Nazaret, kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah (Lumintang, 2006:191; Banawiratma, 1994:29).
  2. Kristologi From Above. Kristologi From Above atau Von Oben (dari atas) berarti bahwa refleksi eksistensial umat beriman sekitar Yesus Kristus berpangkal dari Allah kepada manusia; Allah menjadi manusia. Pemikiran ini berpangkal pada Allah, dan dari situ sampai kepada Yesus dari Nazaret. Allah yang Mahaesa dari Perjanjian Lama melalui dan di dalam Yesus Kristus mendekati manusia dan mendekati situasi, keadaan manusia. Sejak awal Ia sudah ber-ada, tetapi pada saat tertentu Ia tampil di bumi sebagai manusia. Setelah tugas-Nya selesai, Ia kembali kepada tempat dan keberadaan-Nya semula. Kristologi From Above dikenal sebagai strategi dasar dan orientasi dari Kristologi gereja abad permulaan. Kristologi gereja mula-mula adalah Kristologi ortodoks, khristologi Chalcedon, dimana tidak ada pemisahan antara iman dan sejarah, antara Alkitab dan sejarah (Lumintang, 2006:190; Banawiratma, 1994:31-32).
  3. Kristologi Perjanjian. Kristologi Perjanjian adalah Kristologi yang berpijak pada kebenaran dari hubungan Yahudi-Kristen. Pijakan itu adalah kenyataan yang didalamnya gereja menemukan dirinya dewasa mncakup orang Yahudi dan perjanjian kekal mereka dengan sabda Allah yang dilayani gereja melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Orang Yahudi yang dulu hidup dalam solidaritas-Nya dengan umat-Nya. Solidaritas Yesus kepada umat-Nya berada dalam kesinambungan erat dan kuat dengan kesaksian terhadap Perjanjian Allah, dan karena itu mengokohkan kesetiaan Allah. Kristologi perjanjian adalah jawaban gereja terhadap kasih Allah Israel. Gereja diperhadapkan pada kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Konteks dasariah dari hal-hal yang menyangkut Yesus dari Nazaret adalah Perjanjian antara Allah dan Israel; konteks yang masih terus ada dari hal-hal itu adalah Israel di dalam Perjanjian kekalnya dengan Allah. Israel dan sejarahnya adalah konteks mendasar untuk pengembangan suatu Kristologi bagi realitas Yahudi-Kristen, yaitu suatu Kristologi bagi gereja masa kini. Jika inkarnasi datang dari hati Allah, maka inkarnasi ini menunjuk pada inti dari perjanjian (Eckart, 2006:281-281)
  4. Kristologi Adikodrati. Kristologi adikodrati, transcendental Christo, adalah Kristologi yang menegaskan bahwa Inkarnasi sungguh-sungguh telah berlangsung di dalam Yesus Kristus. Ia melebihi atau di luar kodrat alam. Perkara adikodrati menjelma dalam Yesus Kristus yang hidup di dunia ini. Kristologi adikodrati menekankan bahwa di dalam Yesus Kristus seluruh kepenuhan ke-Allah-an berkenan diam. Penekanan ini didasarkan pada Kol.1:19 (Eckardt, 2006:335).
  5. Kristologi Teosentris. Kristologi Teosentris adalah Kristologi yang menekankan Allah daripada Yesus Kristus. Kristologi ini bertitiktolak dari contoh jalan Yesus dari Nazareth yang inti amanat-Nya adalah Kerajaan Sorga yang bersifat Teosentrik. Fokus utamanya bukanlah Yesus, melainkan memfokuskan perhatiannya kepada Allah. Kristologi Teosentris ini menunjuk pada nas-nas dalam Alkitab Ibrani di mana perjanjian Allah dengan Abraham dan Nuh dipahami sebagai berlaku untuk seluruh umat manusia, dan di mana Allah memilih beberapa bangsa, bukan hanya Israel. Revolusi Kopernicus merupakan istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan transformasi radikal ke posisi Teosentris. Penganut teosentris ini, Paul F. Knitter, memberikan argumennya: Yesus dari Nazaret sendiri adalah seorang yang memusatkan hidup, pelayanan, dan pengajaran-Nya pada Allah yang diyakini dan diwujudkan-Nya tengah menyatakan kuasa-Nya, dan bukan pada diri Yesus. Yesus adalah seorang nabi akhir zaman yang teosentris, yang pada diri-Nya ada kesadaran akan Allah yang sangat kuat dan mendalam. (Eckardt, 2006:330; Lumintang, 2006:193,224; Yewangoe, 1993:111).
  6. Kristologi Kenosis. Kristologi Kenosis menyatakan keyakinannya bahwa di dalam Yesus, Allah telah mengosongkan diri atau merendahkan diri-keallahan-Nya, dengan mengambil rupa seorang hamba (Flp. 2:5-11). Pandangan Kristologi kenotik ini memuat suatu Kristologi yang sudah sangat berkembang: rupa Kristus adalah rupa Allah sendiri, dan Kristus pada dasarnya dikatakan setara dengan Allah. Kristologi kenosis memberikan suatu pemahaman yang di dalamnya kita dapat mengatakan bahwa Yesus Kristus sepenuhnya ilahi dan Yesus Kristus sepenuhnya insani. Allah yang mengosongkan diri-Nya, di dalam Yesus Kristus, sepenuhnya sejalan dengan gagasan tentang Allah yang tersembunyi. Pernyataan tentang ketersembunyian Allah ini adalah kesaksian kristiani yang paling relevan tentang Allah bagi zaman ini. Apa yang Yesus telah pikirkan, ajarkan, dan kerjakan telah membuat-Nya menjadi istimewa, Ia adalah Allah yang jelas-jelas kelihatan dalam diri manusia (Eckardt, 2006:344).
  7. Kristologi Inkarnasi. Kristologi Inkarnasi adalah Kristologi yang menyatakan bahwa Yesus adalah inkarnasi Allah. Ada perbedaan pemahaman dalam ungkapan ini. Bagi ajaran resmi gereja, inkarnasi ini adalah menjelmanya Allah hanya dalam manusia Yesus Kristus. Namun bagi Song, inkarnasi Yesus hanyalah salah satu inkarnasi Allah, karena Allah juga berinkarnasi dalam semua agama dan kebudayaan. Konsep inkarnasi Song sama dengan konsep inkarnasi Panikkar yang dikenal dengan istilah The Unknown Christ (Kristus yang Tidak Dikenal). Panikkar berpendapat bahwa Yesus adalah Kristus, namun Kristus bukanlah Yesus. Allah tidak hanya berinkarnasi melalui Yesus. Kristus ini merupakan misteri ilahi yang imanen berinkarnasi dalam sejarah dan budaya manusia. Yesus hanyalah bagian dari Kristus, dan Kristus itu lebih daripada Yesus dan tidak hanya dikenal melalui Yesus dari Nazaret. Kristus sebagai misteri ilahi bukan satu realita yang mempunyai banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda dimasing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan (Lumintang, 2004:147,159).
  8. Kristologi Kontekstual. Kristologi kontekstual adalah Kristologi yang memahami dan mengungkapkan keberadaan Yesus berdasarkan kebutuhan-kebutuhan kontekstual yang khusus. Kristologi ini memperlihatkan bahwa keabsahan pemahaman-pemahaman tentang Yesus tidak terletak pada kalim-klaim yang kekal atau pada kekuatan paham-paham dogmatiknya, tetapi pada kecocokan gambaran-gambaran-Nya dengan suatu konteks khusus tertentu. Mereka berusaha untuk menjawab masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, dan hal-hal utama umat mereka. Yesus Kristus bukan hanya suatu uraian tentang pandangan-pandangan yang sudah disusun sebelumnya atau suatu latihan menerapkan kebenaran-kebenaran yang sudah teruji, tetapi juga suatu tulisan mengenai pengalaman bergumul dan bertahan hidup. Kristologi ini umumnya berkembang di daerah Asia.yang umumnya memiliki pergumulan budaya, pluralisme, dan kemiskinan. (lih. R.S. Sugirtharajah, !996:2; Anton Wessels, 1990; Lumintang, 2006:151).
  9. Kristologi Kosmik. Kristologi Kosmik umumnya didasarkan pada Kolose 1:15-20, yang menekankan “segala sesuatu yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Yesus Kristus dipahami hadir dalam semua ciptaan. Yesus menjelmakan diri-Nya dalam segala sesuatu. Para pakar Kristologi kosmik menggunakan sistem hermeneutika yang terbuka dan menggunakan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran Yesus di luar kekristenan. Karl Rahner dengan teori anonymous Christ (Kristus tak bernama), mengatakan bahwa Kristus juga hadir dalam agama-agama lain, tanpa nama Yesus; Raymond Panikkar dengan teori The Unknown Christ of Hinduism (Kristus tak dikenal orang Hindu), mengajarkan bahwa Kristus tidak hanya dalam pengertian Yesus historis, tetapi juga Kristus yang ada dalam pikiran orang Hindu; stenley Samartha dengan teori Theori Unbound Christ of Hinduism (Kristus yang terjilid dalam Hinduisme), berpendapat bahwa Kristus tidak hanya terbatas pada ikatan agama dan budaya tertentu saja, melainkan Ia hadir juga dalam agama dan budaya lain. (Lumintang, 2006:157).
  10. Kristologi Fungsional. Kristologi fungsional adalah Kristologi yang menekankan fungsi soteriologi. Persoalan soteriologi menciptakan pertanyaan Kristologi dan memberikan arah bagi jawaban kristologis. Dalam Kristologi fungsional, kasih Kristus bagi semua manusia dinyatakan; karya Yesus bagi manusia dipahami bukan dalam arti penebusan, tetapi dalam arti pembaharuan sosial. (Lumintang, 2002:188, Rahmat, 1993:113).
  11. Kristologi Ontologis. Kristologi Ontologis adalah Kristologi yang menekankan pada pemahaman tentang siapakah Yesus. Kristologi ini sudah dperdebatkan sejak gereja purba, mengenai dua natur Yesus: natur insani dan natur ilahi. Persoalan ini belum juga berhenti sekalipun telah ada rumusan Chalcedon. Rumusan Chalcedon menyatakan: “Kita bersama dengan Bapa-Bapa suci, semua dengan satu persetujuan, mengajar manusia untuk mengaku satu-satunya dan Anak yang sama, Tuhan kita Yesus Kristus, sehakikat dengan Bapa dan juga sehakikat dengan manusia; Allah sejati tetapi juga manusia sejati; berjiwa dan bertubuh, bersifat konsubstansial dengan Bapa sesuai dengan keilahian-Nya dan bersifat konsubstansial dengan manusia sesuai dengan kemanusiaan-Nya; dalam segala sesuatu sama seperti kita tanpa dosa; dilahirkan sebelum segala zaman dari Bapa sesuai dengan keilahian, dan dalam hari-hari kemudian, untuk kita dan untuk keselamatan kita, dilahirkan dari perawan Maria, bunda Allah sesuai dengan kemanusiaan-Nya; satu Kristus yang sama, Anak, Tuhan, Allah yang tunggal dikenal di dalam dua natur tidak bercampur (asuggutos), tidak dapat berubah (atreptos), tidak dapat dibagi (adiaretos), tidak dapat dipisahkan (achoristos)...”. (Lumintang, 2006:188).
  12. Kristologi Logos / Firman. Kristologi logos adalah Kristologi yang menekankan Yesus Kristus sebagai Logos Allah. Gagasan ini, tentang logos, telah berkembang dalam filsafat Stoa yang bergabung dalam filsafat Plato, kemudian diteruskan dalam masa kekristenan melalui aliran neo-platonis yang tersebar luas di dunia Yunani-Romawi. Kristologi Logos ini disebut oleh Yohanes (Yoh.1), dan dikembangkan oleh Yustinus Martyr. Yustinus menyatakan bahwa Yesus Kristus itu ‘logos’ kekal yang berpancar dari Allah yang satu. Logos itu suatu kekuatan, daya ilahi, yang diistilahkan sebagai “logos endiathetos”. Waktu jagat raya, kosmos, diciptakan dan dalam diselenggarakannya jagat raya itu, logos itu keluar dari keallahan (logos prophorikos) dan menjadi tersendiri. Logos itu meresap segala sesuatu dan khususnya manusia yang berakal menjadi peserta dalam logos itu (logos spermatikos), yang berperan sebagai “akal jagat raya” (Groenen, 1992:98).
  13. Kristologi Simbol. Kristologi Simbol menyatakan bahwa Kristus merupakan simbol keber-Ada-an Allah. Allah adalah “Ada” itu sendiri, kuasa dari “Ada”, dan dasar dari “Ada”. Keadaan “Ada” itu sendiri melampaui keberadaan. Allah adalah jawaban simbolis manusia bagi usaha pencarian keberanian diperbatasan antara ada dan tidak ada. Kristus adalah simbol dimana pemisahan batas itu teratasi. Kristus menjadi New Being, Ada Yang Baru, yang didalamnya setiap kuasa pemisahan yang hendak melenyapkan kesatuan dengan Allah telah dipatahkan. Kelahiran baru menjadi keadaan yang telah ditarik ke dalam realitas yang baru, yang nampak dalam Yesus sebagai pembawa New Being. Ada Yang Baru yang terwujud dalam Kristus sanggup menjawab puncak keprihatinan manusia dan pencarian manusia akan dasar dari segala keberadaan. Manusia diketemukan oleh kuasa yang diluarnya itu, yang memulihkan konflik-konflik eksistensialnya dan yang mengatasi pemisahannya dari dirinya, dari orang lain, dan dari dasar keberadaannya. (Harvie M. Conn, 1991:109; Liere, 2004:80 dst)
  14. Kristologi Eksklusif. Kristologi Eksklusif adalah kristologi yang dianut oleh para teolog injili dan didasarkan pada otoritas Alkitab dan formula Chalcedon, serta pernyataan Petrus bahwa semua orang akan bertekuk lutut dan mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan (Kis.10:36). Selain itu, pendekatan kristosentris eksklusif ini didasarkan juga pada rumusan Lausanne tahun 1774, dan Lima Belas Pengukuhan yang dirangkum dari Konperensi Internasional bagi penginjil di Amsterdam-Belanda. Kristologi ini menekankan bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia satu-satunya; menekankan finalitas Yesus sebagai Anak Tunggal Allah dan satu-satunya mediator keselamatan. Jadi, tidak ada keselamatan di luar Yesus Kristus, Alkitab adalah kebenaran mutlak, diluar kekristenan tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada keselamatan. (Lumintang, 2006:194;209).
  15. Kristologi Pluralisme. Kristologi Pluralisme adalah kristologi yang menganggap bahwa Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Yesus Kristus adalah wahyu yang universal untuk seluruh umat manusia. Ada upaya untuk mendamaikan antara rahmat Allah dan keeksklusifan Kristus yang bekerja di semua agama. Bahwa keselamatan orang Kristen adalah melalui Kristus, namun ada juga keselamatan melalui agama lain, yaitu pengalaman dari orang Kristen yang anonim (seorang penganut agama lain). Ada kemungkinan keselamatan universal secara Ontologis berdasarkan tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa Yesus (Lumintang, 2006:196; Coward, 1992:68).
  16. Kristologi Berkembang. Kristologi Berkembang adalah suatu refleksi mengenai Yesus yang terus berkembang berdasarkan pengalaman para umat yang sangat heterogen. Berpangkal pada seluruh pengalaman dengan Yesus dari Nazaret, para umat mencoba secara eksistensial manusiawi mengerti, mengartikan, menginterpretasikan fenomena Yesus dari Nazaret, baik selagi hidup di dunia maupun sesudahnya. Dalam proses menginterpretasikan fenomena Yesus itu, generasi Kristen pertama terpaksa memanfatkan sarana, kategori pemikiran yang tersedia. Mula-mula mereka memanfaatkan kategori dari alam pikiran religius Yahudi yang berpangkal pada Perjanjian Lama, misalnya sebutan Mesias. Kemudian, mereka menggunakan lagi kategori-kategori dari alam pikiran religius Yunani, misalnya sebutan Logos (Banawiratma, 1994:23).
  17. Kristologi Konstitutif. Kristologi Konstitutif adalah Kristologi yang berpendapat bahwa Yesus, terutama dalam wafat dan kebangkitan-Nya, menyebabkan atau menjadikan tersedianya secara universal kasih penyelamatan Allah. Tanpa Yesus, kasih semacam itu tidak akan ada di dalam dunia; pengalaman Kehadiran Ilahi apa pun yang terwujud di dunia harus dilihat sebagai disebabkan oleh Yesus dan membutuhkan pemenuhan melalui keanggotaan dalam gereja. Itu semua terjadi karena Yesus merupakan representasi dan bukan hanya mempresentasikan karya penyelamatan Allah. Yesus harus diwartakan sebagai ‘penuh, definitif, dan mutlak perlu’. Ciri konstitutif dan definitif Yesus Kristus sebagai satu-satunya sumber dan alasan bagi kasih penyelamatan Allah di dunia, merupakan alasan mengapa gereja itu bersifat misioner (Knitter, 2005:253;255).
  18. Kristologi Yesus Sejarah. Kristologi Yesus sejarah adalah Kristologi yang menekankan kemanusiaan Yesus, perkataan-Nya, tindakan-Nya, dan situasi konteks-Nya. Penganjur Kristologi Yesus sejarah menggunakan kritik keorisinilan teks-teks Alkitab dengan pendekatan ilmu-ilmu sejarah. Mereka mengatakan bahwa Yesus yang diberitakan Alkitab (para rasul) adalah Yesus kepercayaan. Mereka mempersoalkan Yesus sejarah melalui studi yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan; mempersoalkan “ipsissima verba” (kata-kata Yesus yang sebenarnya) dan “ipsissima intentio” (maksud Yesus atau apa yang Ia rencanakan). Kesimpulan mereka bahwa apa yang ditulis oleh para penulis Injil tentang Yesus, sesungguhnya bukanlah Yesus yang benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus menurut pikiran para murid atau para penulis Injil (Yesus mitos para penulis Injil). (Lumintang, 2004:145; Knitter, 2005:173).
  19. Kristologi Representasional. Kristologi Representasional adalah Kristologi yang memandang Yesus sebagai penampakan atau perwujudan atau pewahyuan yang pasti mengenai kasih penyelamatan Allah. Kasih itu adalah kasih yang “mendahului” Yesus, dan bekerja secara “tidak terhingga” dan secara baik dalam hakikat Allah sendiri dan hakikat ciptaan. (Ogden, 1994:9-10, dikutip Knitter, 2005:253).
  20. Kristologi Suku. Kristologi suku adalah Kristologi yang dianggap berlaku dalam suku tertentu saja, seperti Kristologi Yesus dari Nazaret hanya untuk orang Suku Yahudi. Raimon Panikkar, yang menggunakan istilah ini, menyatakan bahwa pernyataan awal tentang Yahweh sebagai “Allah suku” dimurnikan oleh nabi-nabi Yahudi, demikian juga dalam “milenium ketiga kekristenan” gambaran mengenai Yesus merupakan “Kristologi suku”, yang dapat dimurnikan oleh Kristologi yang ditinjau kembali, suatu Kristologi yang mengizinkan orang-orang Kristen mencari Kristus (bukan Yesus). Ini memungkinkan suku India, dan suku lainnya, dapat menemukan misteri Kristus yang tersembunyi dalam Hinduisme (Knitter, 2005:128).
  21. Kristologi Apologetis. Kristologi Apologetis adalah Kristologi yang didasarkan pada pemahaman tentang Yesus Kristus secara ontologis. Istilah-istilah yang dipergunakan Kristologi apologetif ini adalah istilah personal. Dalam Kristologi ini, gambar-gambar figuratif personal Yesus disebut sebagai Raja, Anak Manusia, Anak Allah, dan lain-lain. Kristologi ini menjadikan gereja dan orang Kristen secara individual mau dan mampu bersaksi tentang imannya. Apologi adalah suatu cara orang Kristen mempertanggunjawabkan iman dan pengharapannya di tengah dunia dan di hdapan Allah. (Darwin L. Tobing, 2004:62).
  22. Kristologi Non-Apologetis. Kristologi Non-Apologetis adalah Kristologi yang dibangun dari pemahaman makna kehidupan, ucapan, perbuatan, penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kristologi Non-Apologetis memahami dan dan menjelaskan kesiapaan Yesus Kristus secara fungsional dalam kehidupan manusia. Atribut pengenalan Yesus Kristus bukanlah personal, melainkan karya keselamatan yang diperbuat-Nya. Istilah-istilah kasih, penyelamatan, penebusan, solidaritas, danlain-lain, sangat dominan dalam menjelaskan tentang kesiapaan Yesus Kristus. Istilah-istilah itu tentu lebih mudah dipahami daripada gambar-gambar figuratif personal Yesus. Kristologi Non-Apologetis merupakan rumusan yang lahir dari refleksi teologis, ketika pemahaman iman tentang Yesus Kristus berinteraksi langsung dengan pengalaman hidup sehari-hari. Melalui Kristologi ini, setiap orang dapat merumuskan pengakuan imannya sendiri terhadap Yesus, karena setiap orang memiliki pengalaman dan peristiwa rohani tentang perjumpaannya dengan Tuhan (Darwin L. Tobing, 2004::62-63)
  23. Kristologi Pneumatologis. Kristologi Pneumatologis adalah Kristologi yang memberi peranan Roh Kudus yang mendiami “daging” Yesus. Oleh karena “daging” itu dengan baik melayani Roh Kudus dan, sambil hidup dengan baik dan murni, bekerjasama dengan Roh itu, maka “daging” itu (Yesus, Hamba Tuhan) dipilih menjadi kawan Roh Kudus (berarti: Anak Allah). Jadi, sebelum diangkat, Yesus sudah didiami Allah (Roh Kudus) dan akhirnya juga menjadi Anak Allah. Kristologi ini berusaha menggabungkan “Kristologi dari bawah” dengan “Kristologi dari atas” (yang mengandaikan kepra-adaan, pra-eksistensi) Kristus. Pada Yesus ada sesuatu, Roh Kudus, kekuatan ilahi, yang sudah ada sejak kekal. Kristologi ini mendekati Kristologi yang diistilahkan sebagai “adoptianisme”, yang menyatakan Yesus hanya Anak angkat Allah (Groenen, 1992:77-78).
  24. Kristologi Angelis. Kristologi Angelis (malaikat) adalah Kristologi dimana peranan dan kedudukan Yesus diungkapkan dengan pertolongan gagasan, gambar, dan istilah yang dipinjam dari pemikiran tentang malaikat-malaikat. Untuk mengungkapkan kedudukan dan peranan Yesus Kristus, khususnya dalam kepra-ada-an-Nya, umat Kristen keturunan Yahudi tidak segan memakai lambang malaikat. Dengan menggunakan lambang malaikat ini, ditekankan bahwa Kristus melampaui manusia dan ada di pihak Allah dalam hubungan Allah dengan dunia. Dalam karya Hermas, yaitu Pastor, berulangkali tampil “Malaikat mutabir”, “Malaikat kudus”, “Malaikat mulia”, yang perawakannya raksasa. Malaikat itu tidak lain adalah Anak Allah. Malaikat-Anak Allah itu melebihi semua malaikat. Yesus Kristus disebutkan juga sebagai Malaikat Gabriel yang tampak oleh perawan Maria. Kristus dalam kepra-ada-an-Nya sebagai Firman Allah masuk kedalam rahim perawan Maria. Istilah terkenal Kristologi ini adalah dengan Malaikat Ia malaikat, dengan Tahta Ia Tahta, dengan Kuasa Ia Kuasa, dan dengan manusia Ia manusia selama Ia turun (Groenen, 1992:79-81)
  25. Kristologi Salib. Kristologi Salib adalah Kristologi yang menekankan realitas penderitaan dan kematian Yesus di salib, sebagai penyilih dosa manusia. Salib dipahami sebagai penyilih dosa manusia, suatu kenyataan historis. Salib merupakan batu sandungan. Peristiwa kematian Yesus yang mengerikan di salib begitu ditekankan. Salib adalah penderitaan dan kematian Yesus, suatu peristiwa historis, bukan mitologis. Kristologi Salib ini berdekatan dengan pemikiran Paulus, yang menekankan tentang Salib sebagai penderitaan dan kematian Yesus Kristus, yang dapat menjadi batu sandungan. Bagi Song, Salib (penderitaan) adalah tanda kasih yang terikat –gravitasi. Kasih pada hakikatnya terikat-gravitasi. Apabila ia bebas-gravitasi, ia bukan lagi kasih. Ia berubah menjadi suatu kekuatan yang menjijikkan, yaitu: kebencian, penolakan, pengasingan, penghukuman, dan kematian. Namun, Allah ditarik ke bumi oleh kasih yang terikat-gavitasi. Kasih Allah dalam Yesus Kristus adalah kasih karunia, pengampunan, persekutuan, keselamatan, dan kehidupan. Tanda kasih yang terikat-gravitasi adalah penderitaan: salib (Groenen, 1992 82; Song, 1999:79).
  26. Kristologi Kemuliaan. Kristologi Kemuliaan adalah Kristologi yang menonjolkan ciri ilahi Yesus Kristus—kekuatan, kemenangan, dan kemuliaan Yesus Kristus. Kristologi Kemuliaan ini merupakan Kristologi Yahudi-Kristen perdana. Dalam Kristologi ini, kematian dan kebangkitan Yesus dipersatukan begitu rupa, sehingga penderitaan dan kematian diserap oleh kebangkitan dan kemuliaan Yesus Kristus. Realitas historis peristiwa itu sangat dikurangi. Salib (penderitaan dan kematian Yesus) tidak dipahami terutama sebagai penyilih dosa manusia, melainkan sebagai pemulihan kosmis, pemulihan jagat raya yang dibebaskan dari kuasa-kuasa jahat yang menguasai dan mengacaukan jagat raya. Dalam penderitaan itu, Salib bukan lagi batu sandungan. Untuk memahami penderitaan dan kematian Yesus di salib, jemaat Kristen-Yahudi meminjam suatu simbolik yang sebenarnya tidak Kristen. Sebelum kekristenan tampil, Salib sudah dipakai sebagai lambang jagat raya berupa pohon kosmis yang tertanam di tengah dan merangkul segala sesuatu. Salib dengan palang-palang bersilang menjadi lambang Kristus yang merangkul seluruh jagat raya. Bumi dan surga, timur, barat, utara, dan selatan dipersatukan oleh Salib Kristus. Salib menjadi simbol penyelamatan universal dan kosmis yang dikerjakan Yesus Kristus. Kristologi kemuliaan ini mendekati pemikiran Kristologi Injil Yohanes. (Groenen, 1992:82-83).
  27. Kristologi Kerakyatan. Kristologi Kerakyatan adalah Kristologi yang menekankan segi transenden, segi ilahi Yesus Kristus, segi ajaib Yesus yang ditampilkan sebagai Guru ilahi. Kristologi ini berkembang pada jemaah Kristen keturunan Yahudi perdana. Pemikiran kurang sistematis, kurang teologis, dan agak simpang siur. Pemikiran Kristologi Kerakyatan perdana tidak memakai atau mengungkapkan diri dalam konsep dan gagasan rasional dan abstrak. Mereka menggunakan dan mengungkapkan diri dalam lambang-lambang dan gambar-gambar apokaliptis yang konkret, dan bahasa figuratif yang bahkan bersifat mitologis. (Groenen, 1992:83)
  28. Kristologi Transpositional. Kristologi Transpositional adalah Kristologi yang menekankan Yesus sebagai wujud inkarnasi, Yesus sebagai bela rasa Allah, Yesus sebagai tindakan politis kasih Allah, dan Yesus sebagai pengemban misi rekonsiliatif Allah bagi manusia. Kristologi Transposisi merupakan pemikiran kristologis konteks Barat dipindahkan kekonteks Asia. Pemindahan ini menyebabkan pergeseran dalam hal tempat dan waktu, alat komunikasi, dan yang paling pokok ialah inkarnasi. (Pinehas Djengjengi, 2004:121). Kristologi transposisi ini bermanfaat dalam konteks Asia, termasuk di Indonesia yang sarat budaya. Nessan dan Lukito memberi komentar positif mengenai Kristologi Transposisi ini. Finally, it should be noted that Song’s transpositional Christology leads us primarily to a need for a Christian concrete response in the spheres of social economic and political liberation. For Song, to engage in the later activities is the only way to make theology relevant to one’s own culture. (Terjemahan bebas: Akhirnya, haruslah dicatat bahwa Kristologi Transposisional Song memimpin kita terutama untuk suatu kebutuhan mewujudkan tanggapan Kristen di dalam lapisan sosial ekonomi dan pembebasan politis. Bagi Song, untuk mulai bekerja dalam aktivitas selanjutnya menjadi satu-satunya cara untuk membuat teologi relevan ke budaya sendiri). (lih. L.Nessan, 1989, dirujuk Lukito, D. Lukas, 2004:102). Song’s transpositional Christology has contributed a lot for developing a balanced transformative theology for our context of struggle here in Indonesia. (Terjemahan bebas: Kristologi Transposisional Song telah banyak menyokong pengembangan suatu transformasi teologi seimbang untuk konteks perjuangan kita di sini, di Indonesia (lih. Lukito, D. Lukas, 2004:103; bd. Song, 1990:7-17 dan Lumintang, 2004:311-370).
  29. Kristologi Mitos. Kristologi Mitos adalah Kristologi yang dibentuk berdasarkan gambaran-gambaran mitos. Arah perkembangan dan gelar-gelar Kristologis bukanlah definisi-definisi (batasan-batasan), melainkan tafsiran-tafsiran atas siapa Yesus itu bagi para pengikut-Nya yang mula-mula dulu. Gambaran-gambaran atau Kristologi ini, seperti semua bahasa simbolik mitis, harus tidak dipahami secara harfiah: namun gambaran-gambaran itu harus diterima dengan sungguh-sungguh. Kristologi Mitos dianggap ada dalam Perjanjian Baru. Yesus yang diberitakan Perjanjian Baru sebagai mitos, tujuan bahasa mitis semacam ini bukan untuk mendefinisikan atau membatasi pemahaman kita tentang Kristus, melainkan memberi jalan masuk ke dalam misteri Kristus (mysterium Christi). (Eckardt, 2006:332).
  30. Kristologi Majemuk. Kristologi majemuk adalah Kristologi yang secara beragam diungkapkan oleh para umat Kristen mula-mula. Mereka, dengan pelbagai cara mengungkapkan keyakinannya, interpretasinya yang serba majemuk tentang Yesus Kristus dan hal ihwal-Nya. Karangan-karangan mengenai Yesus dalam Perjanjian Baru, bukanlah sebuah laporan tentang masa yang lampau, melainkan berupa pewartaan dan katekese yang mengungkapkan keyakinan, interpretasi umat Kristen tentang peristiwa Yesus. Karangan lain yang terkumpul dalam Perjanjian Baru menyajikan pandangan yang berbeda-beda (majemuk) yang agak fragmentaris (lih. Banawiratma, 1994:24-25).
  31. Kristologi Korelasional. Kristologi Korelasional adalah Kristologi yang memahami Yesus dan kehadiran-Nya yang kekal sebagai Kristus dalam gereja-gereja Kristen, disatu pihak, akan setia pada kesaksian awali dan menghasilkan kemuridan Kristen, dan dilain pihak akan memelihara dan berorientasi pada dialog dengan mereka yang berkepercayaan lain, yang sungguh-sungguh korelasional dan liberatif. Kristologi Korelasional mengijinkan orang Kristen setia kepada Yesus, sekaligus juga terbuka pada agama-agama lain. Kristologi Korelasioanal ini dikembangkan oleh Paul F. Knitter sebagai pemurnian dan peninjauan kembali “Kristologi suku” (istilah Raimon Panikkar). (lih. Knitter, 2005:129).
  32. Kristologi Representasional. Kristologi Representasional adalah Kristologi yang memandang Yesus sebagai penampakan atau perwujudan atau pewahyuan yang pasti mengenai kasih penyelamatan Allah. Kasih itu adalah kasih yang “mendahului” Yesus, dan bekerja secara “tidak terhingga” dan secara baik dalam hakikat Allah sendiri dan hakikat ciptaan (Ogden, 1994:9-10, dikutip Knitter, 2005:253).
  33. Kristologi To Membali Puang. Kristologi ini merupakan bagian dari Kristologi Suku. Orang Yahudi menggambarkan Yesus sebagai Mesias. Orang Yunani menggambarkan Yesus sebagai Logos. Orang Yahudi Helenis menggambarkan Yesus sebagai Hikmat/Sophia. Orang Toraja menggambarkan Yesus sebagai To Membali Puang (orang yang menjadi Tuhan). Orang Toraja memiliki pemahaman leluhur bahwa setiap orangtua mereka yang mati dan diacarakan melalui ritual kematian, disebut Rambu Solo’, akan menjadi To Membali Puang. To Membali Puang ini akan melindungi dan memberkati keluarganya yang masih hidup. Transformasi budaya ini, memberi makna religiositas dan roh/jiwa dari ritual Rambu Solo’, yang cenderung kehilangan jiwa ritual dan terkesan menjadi panggung prestise/gengsi. Ritual Rambu Solo’, dengan segala tahapannya, bermakna teologis karena dilakukan untuk Kristus, To Membali Puang. “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23). (Budaya Rambu Solo' Toraja telah diakui Internasional dan akan dijadikan warisan dunia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline