Model sistem Pemilu langsung di Indonesia melahirkan banyak fenomena dan perilaku politik yang beragam. Politik pencitraan, politik uang, politik transaksional, politik identitas, politik SARA hingga politik hipokrit dan munafik menjadi fakta yang nyata sedang melanda bangsa ini dari nasional hingga ke lokal.
Demi mencapai kepentingan politik dan kemenangan dalam kontestasi sering tak peduli dengan norma etika dan tanggungjawab. Atas dalih kepentingan politik, mereka mempraktikkan perilaku politik muka dua, politik hipokrit dan, politik tak tahu malu. Wabah ini akan perlahan muncul dalam setiap level kontestasi politik nasional hingga lokal artinya bahwah pada PILKADA Taliabu 2024 ini hal serupa akan Nampak perlahan demi perlahan pada ruang-ruang public baik pada media cetak, media online hingga media social.
Dalam konteks kajian agama, kemunafikan bisa merujuk pada perbuatan kesalehan yang ditunjukkan untuk menipu orang lain. Seseorang yang munafik disebut bermuka-dua: mengenakan topeng kesalehan untuk menutupi sifat buruknya.
Filsuf Bernard Mandeville (1670-1733) memasukkan konsep kemunafikan sebagai antitesis kesalehan. Mandeville menyerang pandangan Shaftesbury (1671-1713) dan para moralis awal abad XVIII lainnya yang percaya bahwa manusia secara alami bersikap baik dan sangat mungkin bersikap saleh. Namun, Mandeville menganggap pandangan itu merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap sifat hakiki seseorang yang pada dasarnya penuh nafsu.
David Runciman, profesor politik dari Universitas Cambridge London, dalam bukunya yang berjudul Political Kemunafikan: Topeng Kekuasaan, dari Hobbes hingga Orwell. Princeton University Press 2010. Membedah secara apik tentang praktik politik kemunafikan. David Runciman, mengungkapkan teorinya tentang hipokrit alias politik yang sarat dengan wajah kemunafikan dan sikap standar ganda. Politik munafik menurut Runciman menjadi praktik politik disemua level. Kemunafikan selalu muncul dalam berbagai bentuk, meski sulit untuk diidentifikasi
Pemikiran Runciman brangkat dari pemikiran politik modern Hobbes, Mandeville, Jefferson, Bentham, Sidgwick, dan Orwell dan menerapkan ide-idenya untuk berbagai jenis kasus politisi munafik dari Oliver Cromwell ke Hillary Clinton. Runciman bahkan mengatakan melalui bukunya tersebut para filosof seperti Thomas Hobbes sampai George Orwell tidak luput dari mendiskusikan politik hipokrit. Dimana para pemikir berada pada satu kesimpulan bahwa praktik politik hipokrit memang benar-benar ada. Bahkan dengan tegas Runciman menyatakan di politik kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik.
Praktik politik yang demikian menurut penulis bisa berimplikasi buruk bagi perkembangan politik. Karenanya Runciman mengajak untuk perlahan menanggalkan praktik politik dengan segala bentuk kemunafikan. Disaat yang bersamaan tetap berupaya mencari politisi jujur dan otentik. Atau setidaknya harus dicoba mulai membedakan antara politik kemunafikan yang berbahaya dan jenis-jenis praktik politik kemunafikan yang dapat menimbulkan kerusakan atau berdampak buruk.
Elang Maulana, seorang penulis Kompasiana pernah mengungkapkan pendapatnya. Praktik politik hipokrit dijalankan biasanya dengan seorang politisi menggunakan topeng politik untuk menyembunyikan wajah aslinya. Biasanya politisi sembunyi dibalik jargon-jargon dan janji-janji politik yang paripurna, yang digunakan untuk menutupi kedok untuk menutupi perilku buruknya.
KELABUHI PEMILIH
Asrudin, penulis kolom di Jawapos pernah menguraikan bagaimana praktik politik muka tembok dijalankan. Sebagaimana tulisannya yang dimuat di Kolom Opini Koran Jawa Pos, 04 Februari 2013, hlm.4. Asrudin mengatakan, dalam konteks politik di Indonesia, sikap kemunafikan politisi (politik muka dua) ini dapat diterjemahkan sebagai strategi mengelabui atau menipu pemilih (konstituen). Namun, menurutnya politisi sering lupa, sikap ini bisa menjadi bumerang jika mereka lengah dan memiliki celah untuk dikasuskan secara hukum atau dijadikan sasaran kritik, baik oleh media ataupun lawan politiknya.
Asrudin mengutuip Runciman, istilah kemunafikan berakar dari dunia teater dan agama. Di atas panggung para aktor sering berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya. Di luar panggung, kepandaian mereka menampilkan lebih dari satu wajah dapat menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya. Sebagaimana aktor yang dinilai oleh penontonnya.