Lihat ke Halaman Asli

Nita Harani (Syamsa Din)

Guru Madrasah Ibtidaiyah

Ned Ingin Jadi Guru

Diperbarui: 19 Januari 2018   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari awal, Abak tidak setuju dengan pilihanku, terlebih Amak. "Bapikialah Ned, guru la banyak di Indonesia ko,'ang indak cocok jadi guru". Lagi, Amak mengomel, ditambah pula dengan anggukan kepala Abak, dengan raut jengkel, tangan Amak tetap piawai menyusun lembar -- lembar daun sirih, kapur, dan secuil pinang, saat sirih sudah dikunyah, raut jengkelnya berangsur surut, sementara aku, duduk bersila tekun menunggu perkataan berikutnya. 

Amak jongkok mendekati dinding yang berlubang, "tepat!" seruku dalam hati, inilah bagian yang paling aku suka, Amak tak pernah meleset saat meludah di lubang itu meskipun jarak Amak dan lubang tak terlalu dekat. Berikutnya, mulut Amak memerah dahsyat.

John Fitzgerald Kennedy Chaniago, "Ssshhh..." aku mendesis, gagah benar namaku, tapi aku terkesan ringkih karena perawakanku yang agak tinggi dan ramping, rambut tipisku belah pinggir dan seulas jenggot menghiasi daguku, teman -- teman kuliah sering bilang, aku mirip Ustadz kondang yang sering muncul di TV, tapi aku dipanggil Ned sejak kecil, tidak adil. 

"Untuk Kedjajaan Bangsa" kuamati ejaan lama di kartu mahasiswaku. Masa PKL ku tinggal dua minggu lagi, tapi laporan PKL, satu halaman pun belum kutulis. Ck..apa yang harus kutulis mengenai sekolah favorit yang berstandar internasional itu. Tampak sempurna, tak ada kekurangan sama sekali, tapi..setelah hampir dua bulan aku PKL disana, kupikir..aku keliru.

Jadwal masuk 06:45, pulang pukul tiga sore, kadang setengah empat, dan jika ada tambahan belajar atau kegiatan, menjelang maghrib baru pulang. Awalnya kupikir murid -- murid itu menikmatinya, nyatanya tidak. 

Setiap mengajar, kudapati raut wajah para murid yang tegang, gelisah, bahkan ada yang pias. Rupanya pias lantaran menahan sakit perut, jika sudah begitu, terpaksa istirahat di UKS. Kupikir..ia tak sempat sarapan. Tugas mandiri untuk setiap pelajaran nyaris ada setiap hari, tugas menghafal, presentasi, ck..ck..ck.. mereka pasti tak ada waktu untuk mandi di sungai, layaknya aku SMP dan SMA dulu.

Waktu mereka sebagian besar habis di sekolah, di rumah hanya malam hari Karena sepulang sekolah harus mengerjakan tugas. Bagaimana mereka bisa dekat dengan  orang tua di rumah. Hari libur pastilah sangat berharga bagi mereka, ah..aku lupa, hari libur pun mereka ada kegiatan ekstrakulikuler. Jadi, kapan mereka bisa belajar dari lingkungan, belajar bersosialisasi. Entahlah..

Tak heran jika pemuda ini hari banyak yang tak mengenal tetangganya. Ku akui, murid -- murid itu tumbuh cerdas, jenius, aktif, tapi..hal itu harus dibayar dengan ketidakpedulian mereka pada lingkungan, rasa simpati dan empati yang memudar, sikap perilaku dan budi pekerti mereka benar -- benar mencemaskan. Fiuhh...kusandarkan punggung di dinding, kuterawang sarang laba -- laba yang bergelantungan di palfon kamarku.

 "Ned! Apa solusi yang kau tawarkan?" suara jiwaku menggedor -- gedor ruang pikiran. Aku teringat artikel yang pernah kubaca di surat kabar awal -- awal kuliah dulu. 

Mengenai sistem pendidikan di Jepang, aku tak tahu pasti apa metode ini sekarang masih diterapkan disana. Cara untuk melatih disiplin, tanggung jawab, kejujuran, untuk siswa setara SD, para guru mewajibkan setiap murid untuk menanam tumbuhan di halaman kelas. 

Sebelum memulai pelajaran, para murid harus memeriksa tanaman masing -- masing, menyiram, mencabut rumput, dan melaporkan perkembangan tanaman pada guru. Terdengar sederhana bukan? Tapi metode itu benar -- benar berhasil melatih disiplin, tanggung jawab dan kejujuran para murid sejak duduk di bangku SD. Apa aku harus menerapkan metode itu saat menjadi guru nanti? Kupikir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline