Lihat ke Halaman Asli

Nita Harani (Syamsa Din)

Guru Madrasah Ibtidaiyah

Cerpen | Telaga di Balik Badai

Diperbarui: 11 Desember 2017   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki 45 tahunan itu menaruh gagang telepon, menyeka dahi dengan air muka kecewa bercampur sesal. "Pak, kabar dari Kun?" bu Sulastri bangkit dengan mata menyala, "Kun menghajar teman sekamarnya" datar pak Jasadin menjawab, lalu meninggalkan istrinya. Gantian bu Lastri yang duduk di kursi pak Sadin, melepas kaca mata tebalnya "anakku satu -- satunya.." batin bu Lastri nelangsa.  

"Ibu khawatir, Kun jadi laki -- laki pak!" keluh bu Lastri di sela makan malam, "Hush..jangan bicara yang nggak -- nggak, jelas -- jelas anakmu itu perempuan" pak Sadin agak kesal.

Kuntari, itu namaku. Aku senang tak terkira -- kira saat tahu diterima di SMA Negeri favorit, tanpa tes pula..bayangkan. "Tak sia -- sia belajar kerasku selama ini" batinku melayang. Tapi, bahagia yang tengah meletup itu tiba -- tiba terhempas tak bernyawa, wajahku mendadak pias tak berdarah. Pak Jasadin, bapakku, yang seorang Purnawirawan Menengah Letnan Kolonel itu telah menetapkan keputusan, meskipun keputusan itu disampaikan dengan hati -- hati, tetap saja sudah memadamkan hati ini.

"Tak perlu takut, pesantren bukan musibah, pesantren bukan penjara, bapak mau kau mencoba..belajarlah hidup disana". Seperti biasa, bapak bicara datar tanpa tekanan, menandaskan sisa teh manis, lalu meraih topi loreng di balik pintu, menuju pos untuk apel pagi, meninggalkan rongga mengannga di dadaku. Terlebih, aku antusias mengikuti ujian kenaikan sabuk bulan depan, dari sabuk cokelat ke sabuk hitam. Terus kupandangi  punggung bapak hingga tak terlihat, lalu kulemparkan pandangan keluar, komplek perumahan tentara yang di dominasi warna hijau, dengan perasaan hancur lebur aku melangkah ke kamar, ibuku menyusul cepat di belakang.

Kamar berukuran kira - kira 7 7 M ini berisi 20 santri, agak ragu aku melangkah masuk, mengamati sekeliling, dinding bercat putih bersih, dua buah jendela kaca lengkap dengan trali besi, tirainya cokelat susu. Bertumpuk -- tumpuk kasur lipat di salah satu sudut, lemari kayu kecil berjejer di pinggir ruangan, lantai keramik hijau pudar. Usai mengurus segala keperluanku, dan berbicara cukup lama dengan pimpinan pondok yang berwajah telaga itu, bapak pulang, mengusap lembut kepalaku lalu melangkah tanpa kata, tanpa menoleh. Tapi, aku tahu, tatapan lembut mata bapak yang berkata. Ibu berkali -- kali mengusap bahuku, ia pun nampaknya tak bisa berkata,  hanya sorot matanya menggambarkan kecemasan.

Hari pertama di pesantren, teman -- teman mengira aku laki -- laki, meskipun jelas -- jelas aku mengenakan jilbab. Di kamar menjelang tidur pun, teman -- teman ragu membuka jilbab, saat kulepas  jilbab, barulah mereka berani buka jilbab dan percaya kalau aku perempuan. Dihujani sorot -- sorot mata curiga dan bisikan kasuk -- kusuk, aku tak perduli, datar saja, tanpa ekspresi.

Bangun pukul 04.00, pukul 9:30 malam sudah boleh tidur, harus berpakaian sopan sesuai pada tempatya, ada pakaian sekolah, pakaian ke masjid dan pakaian olahraga, seminggu dua kali latihan pidato menggunakan bahasa Indonesia, arab dan inggris. Kegiatan ekstrakulikuler, pramuka, PMR, Qira'atul Qur'an, pembinaan keterampilan membaca kitab kuning, Tahfidzul Qur'an. Olahraga:  bulu tangkis, tenis meja, memanah. Mataku redup membaca sederet peraturan itu. Keharusan mengenakan rok atau gamis sepanjang hari agaknya akan menyiksaku. Apa aku bisa bertahan? Entahlah.

Rencana gila sempat berkelebat, rencana untuk berulah dan membuat masalah, dengan satu tujuan saja "dipulangkan". Cepat kutepis kelebat itu, kala membayanagkan kecewanya wajah bapak.

Pukul 9:30 malam, waktunya tidur. Kasur -- kasur lipat sudah dibentangkan, layaknya kapal yang siap berlayar. Obrolan ringan perkenalan masih terdengar, sesama santri baru saling menanyakan nama dan asal daerah. Tapi, tak seorang pun yang menanyakan namaku, toh aku tak berminat terlibat  dalam obrolan.

Sepanjang malam aku resah dengan tangan di atas kening, persis orang yang menanggung banyak hutang. Nanar kutatap dinding yang diterpa sinar bulan bulat penuh yang menerobos celah tirai jendela, purnama kelima belas. Sempurna.

Seisi kamar gelapan mendengar bunyi lonceng. "Qiyamul Lail..lalu siap -- siap ke Masjid, Shubuh berjamaah" perempuan anggun berambut ikal itu mengeluarkan mukena dari lemari kayu miliknya, kasurnya juga sudah terlipat rapi. Dia bangun sebelum lonceng berbunyi rupanya. Aku mendesis lalu bangkit, tak sedikit santri yang mengeluh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline