Lihat ke Halaman Asli

Nita Harani (Syamsa Din)

Guru Madrasah Ibtidaiyah

Sarung Ayah

Diperbarui: 23 Desember 2017   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                      

     “Demi kau dan sibuah hati, terpaksa aku harus begini....” Ck, tembang – tembang lawas itu layaknya sarapan pagi bagi ayah, terkadang ayah mengikuti iramanya lirih. “tembang ini mengingatkan ayah waktu di perantauan dulu Rif” entah sudah berapa kali ayah mengatakan hal serupa. Menikmati secangkir kopi hangat mengepul ditemani tembang – tembang lawas, dengan sarung tua yang setia melingkar di leher sudah menjadi ritual bagi ayah setiap paginya.

     Kopi itupun buatannya sendiri, ayah tak mau jika aku yang membuatnya “aroma dan rasanya kurang mengena” komentar ayah usai menyeruput kopi buatanku. Jadi, semenjak Amak meninggal ayah menyeduh kopi sendiri, sesekali irama tembang tersendat hingga menciptakan nada baru yang unik, pastilah kasetnya sudah kusut pikirku.

     Buyung Sultani F, itulah nama ayahku. F dibelakang namanya adalah singkatan dari Filiang yang menjadi marga ayah. ayah adalah sosok berperawakan sedang, rahang yang tegas dan mata tajam, serta kumis jarang – jarang layaknya palawija tak terurus, namun rambut tipis ayah senantiasa kelimis tersisir rapi karena diminyaki dengan minyak kemiri, disisir licin ke belakang, celana dasar yang dikenakannya pun senantiasa tajam di ujungnya dan sebagai sentuhan terakhir, tak lupa ayah mengolesi sedikit minyak wangi di tangannya, ck...amboi...melihat ayah seperti itu aku sering menggodanya “Rif, ayah ko tiap hari betemu banyak urang di rumah makan, jadi sudah sepatutnyo kalu ayah nak tampil rapi” ayah sedikit kesal kala aku menggodanya.

     RM Padang Cinto Kampuang milik ayah memang cukup tenar, hingga gaungnya menyelusup ke setiap daerah di musi banyuasin, wajar saja karena ayah  berasal dari Padang Panjang Sumatera Barat, namun sejak bujang ayah tinggal di Musi Banyuasin Palembang dan merintis rumah makan padang, ayah kian sibuk mengurusi cinto kampuang semenjak amak meninggal, sementara aku  tak bisa membantunya, lantaran aku sibuk dengan bengkel yang belum lama ku buka usai menamatkan kuliah.  

     Masih seperti pagi sebelumnya, “Janganlah kau sesali, janganlah kau tangisi, aku pergi untuk kembali la..” tek ! ayah mematikan tip usang kesayangannya, tumben padahal tembang belum usai aku membatin, aku tengah bersiap – siap berangkat ke bengkel, langkahku terhenti di pintu kamar. Lagi, kuperhatikan ayah dengan wajah berbinar melepaskan sarung yang melingkar di leher kendurnya, sarung yang telah bertambal sulam, dengan sangat hati – hati dilipatnya sarung itu dan disimpannya dalam lemari sudut ruangan, pintu lemari berderik hebat saat dibuka, menyayat suasana pagi yang masih lembab dalam pelukan kabut, entah kapan terakhir kali aku melumuri minyak goreng pada engsel lemari itu

Saat remaja, aku tak begitu memperhitungkan sikap ayah yang terlalu mengistimewakan sarung itu, karena memang belum banyak yang kuketahui, saat itu ayah hanya mengatakan “Syarif, perlu wa’ang tau, sarung ko peninggalan pak etek ambo”  kini aku telah dewasa dan beberapa hal mulai kuketahui khususnya mengenai agama, memperhatikan sikap ayah yang kian mengistimewakan sarung itu, aku berpendapat sikap ayah telah menyimpang, lantaran mempercayai benda – benda seperti itu, belakangan sholat lima waktu perlahan ditinggalkan ayah, dengan alasan sendi – sendinya acap kali nyeri lantaran seharian mengurusi cinto kampuang.

     Padahal, menurut cerita ayah, kakekku adalah sosok yang agamais semasa hidupnya sering kali ia menjadi imam dan pembicara di surau – surau kampung. Tiba – tiba potongan syair lagu raihan “iman mutiara” berkelebat dalam pikiranku “iman tak dapat diwarisi, dari seorang ayah yang bertakwa”  sekarang aku baru mengerti makna lagu tersebut.

    Sesekali menjelang istirahat malam, aku megingatkan ayah, tentu dengan hati – hati sekali aku mengutarakannya, tapi jawaban yang diberikan ayah nyaris selalu saja sama “Syarif, wa’ang indak tau sejarahnyo, ilmu agama wa’ang masih saketek, tapi wa’ang begaya ustadz, bapikialah Rif” kian hari kekesalanku pada sikap ayah kian meradang tak tertahan, tiap kali  melihat ayah memperlakukan sarung itu bak barang berharga timbul rasa nyeri yang bersekutu.

    Kebekuan antara aku dan ayah  akibat sarung itu kian terasa belakangan, bahkan ayah jarang pulang kerumah, cinto kampuang tak hanya tempat berdagang, tapi juga tempat tinggal ayah, tinggalah aku sendiri terperangkap dalam kebekuan yang tak bertepi. Belakangan santer kabar cinto kampuang kian tenar, bahkan nama Buyung Sultani sang pemilik kian merebak, cita rasa rendang ala Buyung tak tertandingi rupanya, itulah cerita dari mulut ke mulut yang tengah hangat di daerahku belakangan ini, mendengarnya aku hanya menyeringai, berat terasa menghela nafas, sesak yang hanya bisa kuhempas ke dalam benakku bergejolak hebat tanpa arah.

    Aku tak bisa menikmati khotbah Jum’at dengan tenang, pikiranku berkecamuk mengingat ayah, apalagi aku tak menemukannya di antara para jamaah, sepertinya ayah kian sibuk, sebelumnya meskipun ayah sering kali meninggalkan shalat lima waktu, tapi ayah selalu meluangkan waktu untuk shalat Jum’at.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline