Penulis: Didit Handika dan Mohamad Ganevo (Project Officer Gema Cita - Plan Indonesia)
Kekerasan terhadap anak merupakan masalah serius yang terus melanda Indonesia hingga saat ini. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) Kementeritan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) 2023, tercatat sebanyak 18.175 kasus kekerasan terjadi pada anak. Terdapat tiga provinsi dengan angka kekerasan tertinggi yaitu, Jawa Barat sebanyak 1.696 kasus, Jawa Timur 1.531 kasus dan Jawa Tengah dengan kasus sebanyak 1.255.
Salah satu kasus yang menghebohkan masyarakat baru-baru ini adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) di Kabupaten Lumajang, Juli 2024, Jawa Timur, dilaporkan ke polisi karena menikahi santri perempuannya. Laki-laki berinisial ME itu dilaporkan ke polisi karena menikahi secara siri santri perempuannya inisial P yang masih berusia 16 tahun. Perkawinan itu dilakukan secara paksa tanpa sepengetahuan orang tua dari santri perempuan tersebut. ME memanipulasi P yang masih berusia anak untuk menikahinya dan menolak untuk menceraikannya bahkan setelah P meminta.
Kasus perkawinan anak yang terjadi juga memperlihatkan tetap adanya relasi kuasa antara pengurus pesantren dan peserta didik di sekolah dan lemahnya sistem perlindungan di lingkungan pendidikan. Meskipun terdapat regulasi yang seharusnya melindungi anak dari eksploitasi dan hubungan yang tidak sehat, implementasi serta pengawasan terhadap aturan tersebut sering kali kurang memadai. Situasi ini mengindikasikan perlunya peningkatan kesadaran dan pelatihan bagi para pengurus dan pendidik mengenai batasan etis dan tanggung jawab mereka, serta perlunya mekanisme pengaduan yang aman bagi peserta didik. Tanpa langkah-langkah preventif yang kuat, anak-anak tetap rentan terhadap situasi yang bisa merugikan masa depan mereka. Menciptakan ruang yang aman bagi lingkungan anak bukan hanya tentang melindungi mereka dari bahaya fisik, tetapi juga tentang mendukung perkembangan holistik dan masa depan mereka . Ini melibatkan komitmen dari semua pihak yang terlibat, termasuk orang tua, pengasuh, pendidik, pemerintah dan masyarakat luas.
Salah satu langkah yang telah dilakukan demi menciptakan ruang aman, khususnya di lingkungan pendidikan, yakni melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen KPPPA) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA). Peraturan tersebut, mewajibkan seluruh satuan pendidikan di Indonesia membentuk sekolah ramah anak sebagai fondasi kuat dalam pemenuhan hak anak secara utuh. Tujuan utamanya agar satuan pendidikan dapat mewujudkan sekolah yang ramah bagi anak, sebagai peserta didik, yang bersih, indah, aman dan nyaman.
Di dalam aturan tersebut menekankan pentingnya mewujudkan SRA yang tidak hanya sekedar label atau penamaan sebatas pada Papan Nama sekolah atau Surat Keputusan penunjukan, namun lebih jauh dari itu adalah bagaimana mewujudkan nilai dan pembiasaan ramah anak hingga menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi warga sekolah. Sebagaimana slogan SRA “Anak Senang, Guru Tenang, Orangtua Bahagia”, maknanya bahwa bagaimana peran tanggungjawab mewujudkan SRA ini butuh didukung seluruh warga sekolah.
Permen KPPPA ini, jika dilaksanakan dengan baik akan berimbas pada turunnya angka perkawinan anak di satuan pendidikan, yang akan berkontribusi pada penurunan angka perkawinan anak di Indonesia. Perkawinan anak merupakan bagian dari kekerasan yang masih banyak terjadi hingga merenggut hak pendidikan dan masa depan anak. Berdasarkan Susenas BPS, proporsi perkawinan anak di Indonesia pada 2023 menyentuh 6,92 persen (dijelasin angka tersebut artinya apa). Tingginya angka perkawinan anak ini menjadi salah satu faktor putus sekolah. Di sebagian kasus, ketika anak sudah menikah maka ia biasanya dikeluarkan dari sekolah, dipindahkan, atau tidak mau melanjutkan sekolah, terutama anak perempuan.
Masih terdapat banyak sekolah yang memilih untuk menutupi kasus perkawinan anak dengan alasan menjaga nama baik institusi mereka. Hal ini merupakan masalah serius yang tidak hanya merugikan anak yang terlibat, tetapi juga mengabaikan hak-hak dasar mereka untuk melindungi dari perkawinan usia anak. Tindakan ini justru memperburuk masalah dengan tidak mengambil langkah untuk mencari solusi terbaik bagi masa depan anak. Sekolah perlu melakukan transparansi dan kepedulian terhadap kepentingan terbaik bagi anak sehingga hak-hak dasarnya tidak terenggut begitu saja.
Berbeda dengan sekolah lainnya yang cenderung menutupi kasus tersebut, Bapak Mamat, kepala sekolah menengah atas di Kabupaten Sukabumi merasa penting untuk mencari solusi terbaik bagi peserta didik yang mengalami kehamilan tidak diinginkan atau perkawinan anak sehingga peserta didik tidak terancam putus sekolah.
Melalui program SRA yang berkolaborasi bersama Program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (GEMA CITA) dari Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), Bapak Mamat mencetuskan program pencegahan kekerasan pada anak termasuk perkawinan anak di sekolahnya dengan mereplikasi diskusi serial terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dengan pendekatan Pendidik Sebaya.
Serial diskusi tentang HKSR yang dilaksanakan selama 18 sesi/pertemuan di sekolah bertujuan untuk mengedukasi peserta didik tentang pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang tubuh, hubungan sehat, dan keputusan yang bijak terkait seksualitas mereka. Diskusi-diskusi ini tidak hanya membahas aspek medis seperti anatomi dan fisiologi reproduksi, tetapi juga menyoroti isu-isu sosial seperti perlindungan dari kekerasan seksual dan pentingnya konsen dalam interaksi seksual dan termasuk penguatan karakter Dengan pendekatan yang menarik dan inklusif, seperti studi kasus, permainan peran, dan diskusi kelompok, serial diskusi ini membuka ruang bagi peserta untuk mengajukan pertanyaan, mempertimbangkan nilai-nilai pribadi mereka, dan membangun kesadaran akan hak-hak mereka dalam konteks kesehatan seksual.