Musik sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Sejak kecil saya sudah menekuni gitar dan kini menjadi organis di gereja. Kali ini saya akan membagikan cara mengkategorikan musik berdasarkan pengaruhnya bagi tubuh.
Kategori ini hanyalah satu di antara sejuta alternatif lainnya. Akan tetapi, saya tetap yakin bahwa seperti halnya tubuh manusia lebih penting daripada pakaian, demikian pula "tubuh" lebih penting daripada musik.
Meskipun saya seorang penikmat musik cadas di usia remaja, saya tetap tertarik dengan berbagai jenis aliran/genre musik. Saya mulai curiga dengan unsur "komersialisasi" yang turut membentuk segala jenis pelabelan: pop, jazz, classic, instrumedley, rock, dsb. Dalam ketidakpuasan itu, saya menemukan lagi kategorisasi musik dalam kaitannya dengan kepribadian yang sempat dimuat di Koran Kompas (lupa tanggalnya).
Keempat jenis musik yang saya bahas ini terkait dengan anatomi manusia.
- Musik untuk "kepala". Jenis musik seperti ini sering dilabeli dengan "brain power", misalnya J. S. Bach. Jenis musik ini mampu membuat kita berpikir dengan jernih.
- Musik yang menyentuh "hati". Hati di sini tidak hanya soal emosional, tetapi juga menyentuh inti pribadi kita yang paling dalam. Contoh: "Angel" -- Libera dan "Nella Fantasia" -- Il Divo. Jenis musik ini biasanya lebih mengandalkan kekuatan lirik yang menyentuh hati dan mampu membuat kita berefleksi.
- Musik yang tertuju pada "perut ke bawah". Jenis musik ini bisa menyangkut jenis musik yang "galau, melumpuhkan perasaan" sehingga terbawa perasaan berhari-hari. Ada juga yang mampu "menggoda dan menaikkan gairah".
- Musik yang tertuju pada "kaki" (dan juga tangan). Musik ini menggerakkan tubuh kita untuk bergoyang/berjoget ria.
Anak-anak muda umumnya lebih suka menikmati dua jenis yang terakhir. Dalam perjalanan waktu, pilihan mulai beralih dari "bawah" ke "atas".
Saya semakin jarang belajar sambil mendengarkan musik. Bagi saya, hal ini sama dengan melakukan dua tugas bersamaan, yang pada kenyataannya tidak akan berjalan maksimal. Untuk setiap kegiatan selalu ada waktunya. Saya lebih memilih mendengarkan musik pada saat rekreasi.
Kategori ini bisa jadi paling memadai karena tidak mengukur musik dengan hal yang lainnya, karena selalu gagal. Sebaliknya, satu-satunya ukuran bagi musik adalah manusia yang merupakan pencipta sekaligus penikmatnya.
Saya jadi ingat ungkapan Protagoras: "Manusia adalah ukuran". Kendati demikian, musik tidak hanya bisa tunduk pada hukum senang semata. Syukur-syukur bisa membantu jiwa untuk semakin dekat pada Sang Sumber Keindahan. Selamat bermusik ria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H