Lihat ke Halaman Asli

David Olin

Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Perang Modern dan Masyarakat Sipil

Diperbarui: 13 April 2022   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Ketika Pandora membuka kotaknya, segala jenis penyakit, perang dan kekacauan keluar dari kotak itu. Hanya satu yang tertinggal, yaitu harapan. Mitos lain adalah kisah Promotheus yang mencuri api dari para dewa dan membawa kekerasan serta kehancuran di atas bumi. Padahal, api itu seharusnya bisa membawa cinta dan kehangatan. Mitos tidak selalu identik dengan takhayul. Kedua mitos ini telah melewati berbagai masa dan masih mengungkapkan kebenaran di dalam kondisi aktual, khususnya perang.

Kengerian dan kejahatan perang meningkat secara luar biasa akibat bertambahnya senjata-senjata berteknologi tinggi. Pada Perang Dunia I, dari 10 juta orang yang terbunuh, 5% di antaranya adalah masyarakat sipil. Sementara itu, pada Perang Dunia II, 50 juta orang terbunuh, 48% adalah masyarakat sipil. Dalam Perang Korea, dari 9 juta orang yang terbunuh, 84% di antaranya adalah masyarakat sipil. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perang “modern” semakin sedikit menyasar kalangan militer dan semakin banyak menyasar masyarakat sipil. Kita masih menunggu kabar yang pasti dari jumlah korban masyarakat sipil dalam invasi Rusia ke Ukraina.

Secara khusus, Perang Dunia I (1914-1918) menandai era baru perang modern. Untuk pertama kalinya pemukiman masyarakat sipil menjadi sasaran pengeboman udara, penyebaran kamp konsentrasi dan penggunaan tenaga sipil dalam menyokong infrastruktur perang.

Masyarakat sipil berada di tengah empat sektor kekuatan besar, yakni ideologi nasionalistik, militer yang didanai negara, media global dan institusi internasional. Setiap sektor membangun identitas masyarakat sipil dalam relasinya dengan militer. Situasi masyarakat sipil yang ambigu menempatkan mereka dalam situasi yang mematikan ketika berhadapan dengan konflik bersenjata. Mereka bisa menjadi sasaran tindakan dehumanisasi oleh pihak militer, entah karena kontak bersenjata maupun akibat terputusnya akses pada fasilitas penunjang kehidupan (listrik, air, pendidikan, dsb).

Entah mengapa harus ada orang yang mati supaya orang lain tetap hidup. Kisah tentang Kain dan Habel yang muncul dalam bagian awal Kitab Kejadian mungkin menyediakan jawabannya. Kain membunuh Habel, namun ia selamat karena darah adiknya itu. Demikian pula, seorang Kristiani diselamatkan oleh apa yang ia tolak, yaitu Salib. Semakin orang menolak perang dalam dirinya sendiri, ia mulai memproyeksikan perang itu di luar dirinya. Maukah kita terus terkungkung dalam keputusasaan? Semoga pembaca yang budiman mampu menemukan tempat harapan itu berada.

Sumber:

Daniel Rothbart, Karina V. Korostelina and Mohammed D. Cherkaoui (Eds.), 2012. “The Place and Plight of Civilians in Modern War”, dalam Civilians and Modern War: Armed Conflict and The Ideology of Violence (New York: Routledge)

Fulton J. Sheen, “Hope for A Wounded World” https://youtu.be/PGG4P_yj8VU?list=PLxJrpK3mAms0_lcU1BZizEOajkq3Cyy8w




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline