Lihat ke Halaman Asli

Pandji Kiansantang

"Bahagia Membahagiakan Sesama"

I Left My Heart in Bali: Terpesona Tanpa Jatuh cinta

Diperbarui: 8 Juni 2022   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Perayaan Galungan pada hari ini, 8 Juni 2022, mengingatkanku pada kenangan 5 bulan tinggal di Bali. Traveling di Pulau Dewata selama masa PUNCAK pandemi (Juni - November 2021) membuatku lebih sehat dan lebih "open minded".

Sungguh beruntung saya bisa ke Bali. Berangkat pada Juni 2021 sesaat menjelang pandemi merajalela di ibukota yang disusul dengan pemberlakuan PPKM level 4 di Jawa dan Bali. 

Parawisata Bali "mati suri". Jalur parawisata internasional ditutup. Banyak Wisatawan domestik enggan ke Bali karena wajib PCR yang biayanya lebih mahal dari tiket ke Bali. Akibatnya Bali sepi turis, domestik apalagi mancanegara. Pantai-pantai umum (seperti "pantai sejuta umat" Kuta) dan hampir semua obyek wisata (termasuk "Monkey Forest" di Ubud) DITUTUP. 

"Stranded in Paradise" (terdampar di Surga) itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisiku selama Puncak PPKM di Bali. Untungnya saya adalah tipe "pembangkang"... menolak untuk tetap tinggal di hotel. Nekad seorang diri diantar Ojek online "blusukan". Masuk dan menikmati  pantai-pantai berpasir putih yang sepi kosong melompong... serasa "private beach".  Hasil foto dan videonya memukau.. "tidak bocor" sama sekali (terlihat banyak orang di background).

"SOLO Traveling" (traveling seorang diri) selama hampir setengah tahun di "Pulau Surga" (paradise island) sungguh banyak godaan. Bisa saja jadi "Surga Dunia" hidup hedonis dan hura-hura.. party all night long. Tapi alhamdulillah itu TIDAK kulakukan. 

Jika boleh salut pada diri sendiri, maka ada 3 "Don'ts" (Larangan dalam ajaran Islam) yang sama sekali TIDAK pernah kulakukan selama bertualang sendirian  di Bali :

 1) Makan daging Babi... padahal makanan berdaging babi ada dimana-mana. Konon "Babi kriuk" yang viral itu sangat lezat... kuakui itu sungguh godaan bagiku (foodlover) yang suka mencicipi makanan setempat... tapi syukurlah aku sanggup menahan godaan itu dan mencari makanan halal. 

2)  Konsumsi minuman keras. Di daerah wisata yang cosmopolitan seperti Bali, tempat penjualan minuman -  dari minimarket, kafe sampai warung makan - minuman keras beredar luas... dari whiskey sampai arak Bali. Untuk yang satu ini, karena saya tidak suka cita rasa minuman keras (bahkan beer) dan enggan mabuk, ini sama sekali tak masalah.

 3) "Cinlok" (cinta dan lokasi) dan "main perempuan". Bali adalah "surga" bagi mata pria... "cuci mata".  Biasanya daya tariknya ada pada wisatawan - asing dan domestik - yang berpenampilan sexy, termasuk cuma pakai bikini. Karena saya tinggal di Bali pada saat parawisata internasional belum dibuka, maka godaan itu belum menonjol. Hanya sekali dua kali melihat beberapa gadis cantik dan sexi Rusia (yang mencari nafkah di Bali sebagai foto model) berjalan-jalan saat sunset di pantai Canggu. 

Di masa pandemi, di mata penduduk lokal Bali, Canggu bagaikan "negara" tersendiri : turis-turis Rusia yang tinggal di sana hampir tak tesentuh dengan berbagai pembatasan PPKM. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline