Lihat ke Halaman Asli

Pandji Kiansantang

"Bahagia Membahagiakan Sesama"

Mengapresiasi Hidup saat Melayat yang Wafat

Diperbarui: 29 November 2018   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DOK.PRIBADI

Hujan sangat deras siang tadi. Membuatku agak enggan keluar kantor. Berita duka cita dari wafatnya suami teman sekerja, seakan cukup direspon dengan kalimat "ucapan standar" berbelasungkawa melalui WA.

Tapi ada semacam "energi kebaikan" yang mendorongku  untuk memilih menerjang hujan, melewati genangan air dan menelusuri rumah almarhum dengan bantuan Waze.

Ada perasaan lega bisa sampai di lokasi tujuan. "Mengalahkan" hujan dan memenangkan silaturahmi. Aku pun melakukan "SOP Pelayat": mengisi buku tamu, menyapa keluarga dan berdoa di samping jenazah.

Tadinya kuduga ketika memasuki rumah tempat dipersemayamkan almarhum adalah suasana duka, tangis dan lara. Ternyata kedatangan para pelayat termasuk diriku disambut dengan ketegaran dan ketabahan sang istri.

Menjawab pertanyaanku, ia berkisah sudah 22 tahun berumah tangga, profesi suaminya dan menjelaskan secara detail kronologi wafatnya sang suami di Rumah Sakit. Dari sekedar mengajukan pertanyaan "formalitas" (basa basi) khas pelayat, ternyata berkembang menjadi suatu perenungan yang cukup mendalam.

Apalagi setelah sang istri menjelaskan alasan menempatkan jenazah, bukan di "Rumah Duka" seperti pada umumnya, tapi di tempat yang ia istilahkan "Rumah Cinta", yaitu rumah yang dibangun sendiri oleh almarhum untuk tinggal bersama keluarga tercinta...

Suasana kehangatan keluarga ini juga tampak dari pajangan foto-foto keluarga di dalam rumah. Ada sebuah pajangan "kata mutiara" yang pas menggambarkan spirit kebersamaan dan religius keluarga ini  :"Family that Prays together, Stays together" (lihat foto di atas).

Menurut kamus bahasa, me·la·yat, artinya  "menjenguk (melawat) keluarga orang yang meninggal dengan tujuan menghibur dan menyabarkan hatinya". Tapi ternyata... keluarga almarhum cukup tegar, malah saya yang belajar dari ketegaran mereka. "Tugasnya sudah selesai..." kata sang istri memaknai kehilangan "belahan jiwanya" itu.

Pengalaman siang tadi menggugah kesadaranku bahwa Melayat orang yang wafat sesungguhnya mengajarkan kita untuk Bersyukur atas karunia kehidupan. Setiap detik kehidupan adalah berharga... setiap tarikan nafas tidak ternilai... 

Terkadang kita baru menghargai sesuatu ketika hal itu hilang dari kehidupan kita... Penyesalan selalu datangnya terlambat. Selayaknya momen kebersamaan dengan keluarga tercinta harus dinikmati dan disyukuri...

Terimakasih untuk inspirasinya Bu Juli... Rest in Peace Pak Audie....

*Kelapa Gading, Kamis, 29 November 2018. yang turut berbelasungkawa, Pandji Kiansantang

www.PandjiKiansantang.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline