Lihat ke Halaman Asli

Atika

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini saya bercerita tentang Atika. Seorang gadis pengamen cilik yang mengamen di sebuah perempatan lampu merah di Jakarta.

Sore hari, perempatan itu penuh sesak dengan kendaraan yang mengantri lampu merah. Suara-suara klakson membahana, mewakili ketidakbaran dari sang pemilik kendaraan. Muka-muka penuh peluh memandangi lampu merah yang tak kunjung berganti warna.Tangan mereka memegang erat di pintu Metro Mini, bersiap-siap jika sang sopir mulai tancap gas.

Pukul enam sore adalah saatnya Atika menantikan “sang Bunda”, karena pada pukul tersebut biasanya dia lewat di jalan tersebut.

Sebuah mobil putih mewah membawa seorang wanita cantik yang duduk di belakang sang sopir. Wajahnya putih bersinar seperti memancarkan cahaya dan senyumnya begitu tulus merekah, menandakan kecantikan di dalam dirinya.

“Atika, mama kamu datang tuh”, teriak anak-anak pengamen yang lain.

Kaki-kaki kecil Atika pun bergerak cepat menuju mobil itu. Dia sudah menyiapkan sebuah lagu yang baru dipelajarinya di sekolah dan didendangkan untuk Sang Bunda. Setiap hari, anak-anak pengemis dan pengamen di jalan itu mendapatkan pelajaran dari sekelompok mahasiswa yang membuka sekolah informal di salah satu sudut jalan itu. Hari itu, mereka belajar sebuah lagu yang ingin dinyanyikan oleh Atika.

Sesampainya di samping mobil tersebut, Atika pun mendendangkan lagu itu.

“Ambilkan bulan Bu, ambilkan bulan bu. Yang slalu bersinar di langit....”, senandung Atika.

Wanita itu menoleh kepada Atika dan senyumnya pun mengembang mendengar lagu dari Atika. Dibuka kaca jendelanya sedikit dan tangan wanita itu pun keluar dari jendela, menyerahkan sekeping uang logam kepada Atika.

Mata Atika melebar. Bukan untuk memandangi uang logam tersebut, tetapi jari-jari ibu itu yang begitu lentik dan halus.

“Ah, tangannya begitu lembut bak tangan peri”, gumam Atika. Ingin rasanya menempelkan pipi Atika di tangan itu. Tangan seorang ibu yang mengelus rambut dan pipi seorang anak dengan penuh kehangatan.

Namun lampu sudah berganti warna dan mobil itu pun bergerak maju. Atika tersenyum senang karena sempat menyanyikan lagu yang sudah dipelajarinya di sekolah.Tidak ada yang lebih membahagiakan dirinya selain bertemu Ibundanya dan bernyanyi untuknya. Sudah cukup hari itu dia mengamen. Langkahnya pun diayunkannya menuju perumahan kumuh di pinggir kali.

****

Emak sudah menunggu di rumah petak yang saling berhimpitan di pinggi kali. Setiap kali hujan, air kali itu selalu bertamu ke dalam rumahnya.

“Heh, Tuyul, kemana saja kamu!”, teriak wanita itu. Tangannya sibuk memeras cucian baju. Kakinya dipakai untuk menggeser sepiring nasi dan ikan teri yang ada di lantai.

“Ayo makan, Tuyul!”

“Abang sudah pulang, mak?” tanya Atika, sambil mengambil piring yang disodorkan emaknya.

“Ngapain kamu nanya si anak setan itu, paling-paling lagi nyongkel spion lagi,” jawab Emak.

Atika kecil pun terdiam mendengar jawaban Emak. Sebentar lagi si Emak pasti akan meneruskan ocehannya, pikirnya.

“Si Oleng itu memang maling, kayak Bapakmu. Bagus nggak digebukin orang,”kata Emak.

Atika tidak mencoba untuk membayangkan bapaknya, yang memang belum pernah dilihatnya. Emaknya hanya pernah bercerita bahwa bapaknya itu pencuri kambuhan yang sudah sering dipukulin massa. Hingga suatu saat Bapaknya tidak pernah kembali lagi, entah dimana.

Emaknya kini bekerja sebagai tukang cuci. Sementara sang kakak, Oleng hanya sesekali muncul di rumah. Walaup usianya baru 15 tahun, tapi dia sudah giat dengan profesinya sebagai pencoleng.

“Ayo, makan, begol”, kata Emaknya sambil mendelik pada Atika. Entah kenapa, Emaknya jarang memanggilnya dengan nama sebenarnya. Itu pun selalu dilakukannya dengan memaki.

Tapi Atika tidak mempedulikan makian Emaknya. Dia ingin cepat-cepat tidur dan membayangkan ibu impiannya, yang tadi sore ditemuinya.

Malam itu Atika memandangi bulan di langit. Cahayanya begitu terang memancar, seperti wajah sang ibu impiannya. Di dalam bulan itu Atika seperti melihat bayangan wanita muda yang dijumpainya tadi sore. Senyumnya seperti bulan malam itu, yang memancarkan kehangatan. Ingin rasanya berjumpakembali esok hari.

****

Sore itu kembali jalanan di perempatan tersebut dipenuhi oleh kendaraan. Kaki Atika kecil sudah berlari kecil di trotoar. Matanya mencari-cari mobil putih yang biasa melewati jalan itu.

“Aah..itu dia,” kata Atika dalam hati. Bergegas dia menuju mobil itu. Dia lihat wanita itu hari ini berpakaian putih, seperti malaikat di mimpinya semalam. Senyum wanita itu pun mengembang saat melihat Atika datang.

Atika pun menyanyikan lagu yang sama. “Ambilkan bulan, bu. Ambilkan bulan, bu...”

Tangan wanita itu kembali menjulur keluar jendela mobil yang dibukanya. Tangan halus yang sama, yang dilihatnya setiap hari. Berbeda dengan tangan Emak yang kasar, tangan wanita itu putih dan berbulu kecil halus. Aah...andaikan tangan lembut itu mengelus rambuat Atika setiap hari dan membuatnya terlelap di pangkuannya. Tanpa sadar Atika pun menggegam erat tangan wanita itu.

****

Dalam hitungan detik, tiba-tiba sebuah tangan lainnya menarik gelang emas yang ada di tangan wanita tersebut. Wanita tersebut menjerit, Atika terpana memandangnya. Dilihatnya Oleng berlari dan menghilang di tengah hutan belantara kendaraan.

Orang-orang segera mengerumuni mobil tersebut untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Tangan mungil Atika tak bisa bergerak karena wanita itu yang berganti memegang erat tangan Atika. Sopir mobil pun segera turun dan memegang pundak Atika.

Wanita itu menjambak rambut Atika. “Dasar maling! Kecil-kecil sudah maliiing!”, Jerit wanita itu seperti histeris. Tangannya tidak sedikit pun mau dilepas dari rambut Atika yang sudah mulai megeluarkan air mata karena terkejut dan ketakutan.

Polisi yang sedang bertugas pun segera datang ke tempat kejadian.

“Ada apa ini bu?”, tanya sang Polisi.

“Gelang saya dirampok pak dan anak ini pasti komplotan jambret pak. Setiap hari dia menghampiri mobil saya dan bernyanyi. Pasti dia sudah mengincar gelang saya. Kamu tahu, itu gelang mahal anak sialaaan!”, kata wanita itu sambil menjambak kuat rambut Atika.

Atika ketakutan, badannya bergetar begitu melihat wajah wanita itu menampakkan angkara murkanya. Bibirnya mengeluarkan kata-kata pedas. Mukanya memerah sepertiapi yang memancarkan kebencian.

Atika bersama wanita itu segera digiring ke kantor polisi. Di luar, orang-orang berkerumun menutupi kantor polisi tersebut. Si wanita masih berteriak dan memaki. Atika kecil masih menangis tersedu-sedu.

Setelah setengah jam di kantor polisi dan berkas laporan dibuat, wanita itu pun meninggalkan kantor polisi. Sebelum keluar, jarinya menunjuk ke Atika. “Berandalan kecil, masukkan saja ke penjara, pak!”

Tak beberapa lama Emak pun datang ke kantor polisi. Entah apa yang dibicarakan Emak dengan polisi. Atika hanya duduk dan menunduk sambil menyeka air matanya.Lebih dari sejam Emak berbicara dengan polisi. Tidak ada kata-kata makian dari mulut Emak, hanya tangisan dan seruan memohon kepada pak Polisi.

****

Hari sudah gelap.Kemacetan berangsur pun muai mereda. Mobil-mobilyang tersisa segera bergerak cepat.

Atika keluar dan kantor polisi bersama Emak. Tangannya yang besar menggandeng Atika , setengah menyeretnya pulang. “Ayo pulang Tuyul, kalian semua bikin susah Emak saja”

Atika berlari kecil mengikuti langkah Emak. Dibiarkan tangannya digenggam erat oleh Emak. Entah kenapa dirinya merasa aman berada di tangan yang kuat dan kasar itu..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline