Suatu hari salah seorang kerabat bercerita tentang ayahnya yang pergi ke Jakarta untuk sebuah keperluan reuni kantor. Kami menyebutnya Pakde Latief, yang sudah berusia 60 tahun.
Dulu Pakde Latief bekerja di sebuah dinas di Jakarta dan tinggal di Bekasi. Setiap hari ada bus angkutan karyawan antar jemput walau terkadang harus menggunakan angkutan umum bila terlambat atau saat bus jemputan mogok. Pak Latief menunggu di pintu tol Bekasi Timur lalu jemputan membawanya ke bilangan Jakarta Pusat. Begitu pun saat pulang ia akan turun di pintu keluar tol Bekasi Timur.
Sejak pensiun delapan tahun lalu Pakde Latief memutuskan untuk tinggal di kampung halaman di Majalengka, mengawasi sawah dan kolam ikan. Praktis ia tidak pergi ke mana-mana, anak-anak dan cucu-cucunya yang datang ke kampung. Di Majalengka pun ia lebih sering naik sepeda motor atau sepeda genjot.
Saat ke Jakarta tempo hari, Pak Latief tidak cerita ke anaknya yang tinggal di Bekasi. Dari Majalengka, ia naik bus ke Terminal Kampung Rambutan. Ia merasa masih kuat dan masih hapal jalanan Jakarta. "Nanti saja pulang dari reuni mampir ke rumah anaknya," pikirnya.
Petugas di halte transjakarta Kampung Rambutan memberinya informasi di mana harus transit dan ganti bus. Pak Latief menikmati perjalanan apalagi dia diberi tempat duduk, dan kemudian ia pun melihat bahwa kesadaran penumpang untuk memberi tempat duduk ke penumpang berusia lanjut sudah cukup baik.
Ia merasa delapan tahun tidak menginjakkan kaki di ibukota membuatnya pangling. Ternyata Jakarta telah mengalami banyak perubahan. Pembangunan di mana-mana dan seakan tak pernah berhenti. Selalu ada yang dibangun, dibongkar, dibangun lagi. Tempat-tempat yang dulu ia lewati tak lagi persis sama.
Masalah mulai datang saat ia harus transit di halte Semanggi, bukan hanya jarak yang jauh untuk mencapai halte di depan RS Jakarta tetapi juga tangga yang tinggi membuatnya cukup ngos-ngosan mencapainya. Tapi semua tampak bergegas cepat seakan akan tertinggal sesuatu jika berjalan lambat.
Pakde Latief teringat masa awal saat ia datang pertama kali ke Jakarta di awal tahun 80. Beberapa tahun setelah lulus sekolah kerja serabutan di kampung lalu diajak ke Jakarta untuk bekerja di sebuah kantor. Berkat pergaulan dan nasib baik, dari yang awalnya sebagai pegawai rendahan hingga akhirnya bisa mencapai pegawai staf menengah di masa pensiunnya.
Ia pernah merasakan berbagai jenis angkutan umum di Jakarta, kosnya di Pasar Minggu dekat dengan jalur rel kereta tujuan Bogor. Ia pernah merasakan kereta listrik di mana penumpangnya bergelantungan di bagian pintu yang tak ada pintunya, duduk di atap kereta, bahkan ia pernah melihat penumpang yang terjatuh dari kereta yang sedang berjalan.
Belum lagi kecelakaan di jalan raya akibat sopir angkutan yang ugal-ugalan dalam membawa penumpang. Demikian pula dengan angkutan kota, mikrolet, bajaj, bemo, kopaja, metromini, bus PPD dan Mayasari yang berjaya pada masanya. Kecelakaan lalu lintas sering terlihat di pinggir jalan dari angkutan umum yang tersebut di atas.
Pakde Latief juga pernah mengalami bus tingkat dan bus gandeng masih beroperasi di jalanan Jakarta. Tidak lupa ojek pangkalan yang perlu keahlian tersendiri untuk menawar jika ingin diantarkan ke suatu tempat.