Kami, rombongan Kompasianers dan Kemenparekraf tiba di Sembalun (2/12) menjelang sore. Hal yang pertama dilakukan adalah menuju Desa Beleq, desa adat masyarakat Sembalun yang sudah berusia ratusan tahun.
Tapi sayang dari tujuh rumah adat tradisional yang dijadikan cagar baru tiga yang diperbaiki setelah gempa besar melanda Lombok tahun 2018 silam. Sisanya masih terlihat roboh dengan kerusakan cukup parah.
Bentuk rumahnya seperti rumah adat Suku Sasak lain yang kami temui di Desa Sade, hanya ukurannya lebih kecil. Sebuah bangunan dengan dinding kayu, atap dari ilalang kering.
Lantai tanah berundak di mana di undakan atas bagian kiri ada tungku tanah untuk memasak dengan pojokannya sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan, sedangkan di sisi kanan adalah bagian untuk tidur alias merebahkan badan tanpa ranjang hanya lantai polos.
Satu hal yang menarik di Lombok, khususnya di desa adat Suku Sasak adalah luluran. Tapi jangan salah, ini bukan sembarangan luluran, juga bukan luluran wajah atau badan tapi melulur lantai rumah menggunakan kotoran ternak, yaitu kotoran kerbau atau kotoran sapi. Iya, kotoran sapi dioleskan ke seluruh permukaan lantai tanah yang mengering itu.
Selain untuk menjaga lantai dari keretakan dan menangkal debu juga kebiasaan tersebut merupakan peninggalan nenek moyang dari ratusan tahun lalu yang mereka harus lestarikan.
Tapi ada aturan dalam pemilihan kotoran ternak yaitu harus diambil dari kotoran pertama di pagi hari yang masih segar berwarna kehijauan sehingga tidak berbau dan belum dihinggapi lalat. Meskipun kotoran sapi boleh digunakan tapi kotoran kerbau dianggap lebih suci daripada kotoran sapi.
Keunikan lainnya adalah oleh sebab sebagian besar Suku Sasak beragama Islam maka oleh karena itu mereka lebih memilih untuk sholat di masjid desa dan tidak sholat di dalam rumah.
Hal ini malah membuat masjid selalu ramai saat waktu sholat karena banyak warganya yang sholat berjamaah di masjid.
Bukit Selong