Atiqa adalah seorang akuntan di sebuah perusahaan perdagangan di bilangan Serpong Tangerang Selatan. Tempat tinggalnya di Bekasi mengharuskannya ngekos di sebuah komplek perumahan di Alam Sutra.
Selama pandemi kantornya memberlakukan WFH alias work from home. Awalnya Atiqa mengira kebijakan tersebut akan sebentar, maka ia pun bekerja secara daring dari kosan.
Tapi setelah dua bulan tidak ada perubahan Atiqa memutuskan untuk pulang ke rumah saja dan tidak ngekos lagi. Tinggal kembali bersama orangtua di saat pandemi dirasa lebih aman, saling menjaga satu sama lain, dan menguatkan mental di situasi yang sempat mencekam.
Bulan berganti bulan hingga pandemi hampir dua tahun berjalan. Atiqa tetap bekerja dari rumah. Setiap hari mulai pukul delapan pagi hingga lima sore, ia tekun di depan komputer. Tentu saja diselingi waktu istirahat untuk makan, beribadah, dan jeda menggerakkan badan sesekali.
Semua rapat dan laporan dilakukan daring. Selama hampir dua tahun ini baru dua kali ia mesti ke kantor membereskan audit fisik yang tidak bisa dilakukan dari rumah. Hal tersebut dimungkinkan mengingat pekerjaannya sebagai akuntan tidak terlalu butuh sering rapat dan bertemu kolega.
Kegiatan yang awalnya terpaksa akhirnya menjadi rutinitas yang ikhlas dijalani. Atiqa tidak perlu bermacet-macet ria di jalan dan yang utama ia bisa menemani ayah dan ibunya yang sempat terkena syndrom ketakutan berlebihan saat puncak pandemi yang banyak memakan korban jiwa.
Lain Atiqa lain pula Nuniek. Ibu bekerja dengan dua anak ini merasa lebih galau saat WFH. Jika saat normal ia sudah harus berangkat ke kantor pukul 6.30 bersama suami, mengingat rumah mereka di Bogor. Praktis ia tidak melihat kegiatan dua anaknya di pagi hari, beruntung mereka punya asisten dan ibu mertua yang membantu.
Saat pandemi membuat ia lebih stres dan sering menangis. Di satu sisi ia sadar bahwa sebagai ibu, dia belum bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Bekerja dari rumah berarti juga melayani anaknya yang jadi manja melihat ibunya ada di rumah. Di sisi lain kewajibannya sebagai karyawan harus dikerjakan tepat waktu.
Walhasil Nuniek kerepotan dan harus pontang-panting fokus saat zoom meeting dan membuat laporan sambil meladeni dua anak. Nuniek merasa WFH membuatnya tidak maksimal bekerja.