Lihat ke Halaman Asli

Saepiudin Syarif

TERVERIFIKASI

Writer

Suara Hati Budi

Diperbarui: 30 Juli 2021   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Teehugger.com

Budi tak mengerti apa yang terjadi.
Budi hanya bocah sepuluh tahun yang sudah hampir dua tahun ini tidak lagi bisa pergi ke sekolah. Tidak lagi bisa bermain dengan teman-temannya seperti dulu. Katanya karena ada virus berbahaya.

Makanya harus selalu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak dengan orang lain. Itu semua dia lakukan. Budi jadi lebih sering di rumah. Ibunya kadang-kadang harus keluar untuk belanja ke pasar atau mengantarkan pesanan kue.

Bapaknya yang lebih sering keluar rumah karena harus mencari uang. Bapaknya seorang sopir angkot milik Pak Haji Imron. Walaupun menarik angkot sekarang lebih sepi dibanding dulu. Sisa setoran hanya pas-pasan untuk makan dan biaya sekolah. Makanya ibunya bantu-bantu membuat kue.

Budi tahu keadaan keluarganya tapi belum mengerti apa-apa. Budi hanya berusaha belajar sungguh-sungguh dan membantu sebisanya. Itu pesan bapaknya. Jadi anak pintar biar besar nanti nasibnya lebih baik. Budi ingin membuat pesawat suatu hari nanti seperti Bapak BJ Habibie.

Tiba-tiba bapaknya kena corona. Dibantu Pak RT, ibuny membawanya ke rumah sakit. Tiga hari kemudian bapak meninggal karena rumah sakit kehabisan tabung oksigen. Bapak dimakamkan jauh di pemakamam khusus. Ibunya sedih. Budi sedih. Budi ingin membantu ibunya.

Selepas tujuh hari kepergian bapaknya. Budi dan ibunya harus melanjutkan hidup. Budi bertekad membantu ibunya membuat dan berjualan kue lebih banyak. Budi belajar berbelanja ke pasar. Budi belajar mengaduk adonan. Budi belajar menggoreng. Budi mengantarkan ke warung-warung. Luka dan sedih di dada belum pulih karena bapaknya pergi.

Belum berjalan sebulan ibunya mendadak pingsan di jalan dan oleh warga dipanggilkan satgas yang lalu membawanya ke rumah sakit. Budi menunggu ibunya di rumah. Budi cemas. Sehari dua hari. Hingga kabar itu datang dari Pak RT Dan tetangga bahwa ibunya pun meninggal di rumah sakit karena corona. Budi terdiam beberapa saat.

Lalu Budi menangis. Dadanya sakit. Hatinya perih. Luka yang belum sembuh karena kepergian bapaknya kembali menganga karena ditinggal ibunya. Budi tak mengerti apa-apa. Di kepalanya pertanyaan datang bertubi-tubi. Di benaknya bertumpuk-tumpuk masalah yang akan dia hadapi.

Tanpa bapak.
Tanpa ibu.
Di umurnya yang sepuluh.
Apakah Budi masih bisa bermimpi membuat pesawat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline