Sore itu kita bertemu di tepi pantai nan biru. Walau langit sedikit kelabu. Dengan semburat terbayang wajahmu yang sendu. Bersamamu selalu ada banyak rindu.
Aku menunggumu duduk di dermaga kayu. Lalu kau akan datang menghampiriku. Sebenarnya aku ingin menjemputmu. Berpamit pada ibu bapakmu. Tapi kau bilang jangan dulu.
Habiskan waktu tak pernah bosan denganmu. Apalagi jingga cakrawala payungi kita. Semburat awan tipis sendukan suasana. Memelukmu kurasa bahagia.
Lalu mengapa kau berurai air mata?
Bahagiakah?
Larakah?
Di pundakku kepalamu rebah.
Kita sudah memilih satu arah.
Semoga hilang semua gundah.
Atau kembali menjadi mentah.
Kutunggu restu orangtuamu.
Tak mungkin mereka menangkan ego jika ingin melihatmu bahagia. Cuma aku yang bisa. Mereka hanya butuh waktu.
Sama seperti generasi-generasi tua lainnya yang tak percaya kalau yang muda bisa. Tak perlu dihajar cukup diajar. Tak perlu dikungkung cukup didukung.
Masa depan kita yang punya.
Bahagia kita yang rasa.
Cukup beri restu dan doa.
Sisanya biar kami yang usaha.
Depok, 4 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H