JOGJAKARTA adalah wilayah yang punya indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia, minimal itu pendapat Menteri Sosial Kofifah Indar Parawangsa. "Kalau galau, datanglah ke Jogja," kata Kofifah.
Keistimewaan Jogjakarta juga menyentuh pada peraturan perundang-undanggan pertanahan, karena Jogjakarta punya aturan tersendiri untuk urusan tanah. Undang-undang Keistimewaan (UUK) menjelaskan bahwa semua tanah di DIY adalah milik Keraton Yogyakarta, tidak ada tanah negara.
Keberadaan tanah di Yogyakarta berawal dari adanya perjanjian Giyanti tgl 13 Februari 1775 antara Pangeran Mangkubumi ( pribadi) dan Paku Buwono III yang disaksikan pihak Belanda, yang menjadi awal hubungan hukum antara keraton dan tanahnya. Dalam perjanjian Giyanti ini kerajaan Mataram dibagi menjadi 2 yakni P Mangkubumi memperoleh bagian Barat wilayah Kasunanan Surakarta dan beberapa wilayah lainnnya sedangkan Paku Buwono III memperoleh pusat kerajaan (Surakarta) dan beberapa daerahnya.
Beberapa bulan terakhir, ditemukan ada 'oknum' yang coba mematoki Sultan Ground dan memperjualbelikan, dua lokasi diantaranya adalah di Magelang dan di Berbah Sleman. Kasus terakhir yang sempat disambut demo warga dalah yang terjadi di Berbah Sleman.
Adalah RM Triyanto, yang mengaku masih merupakan keturunan dari HB VII melakukan pengkavlingan tanah Sultan Ground (SG) di wilayah Berbah, Sleman. Tanah bekas pabrik gula Tanjung Tirto itu kosong sejak bangunan yang ada diatasnya robih karena gempa yang melanda Jogjakarta pada Mei 2006 lalu. Oleh warga setempat tanah tersebut dikosongkan untuk dipakai kegiatan masyarakat.
Pada awal tahun 2017 tanah tersebut dikavling-kavling oleh pihak RM Triyanto dengan luas masing-masing kavling 8x10 meter dan diperjual belikan jauh dibawah harga pasar, yaitu Rp 25-30 juta per kaveling. Keresahan masyarakan setempat timbul karena sepengetahuan mereka tanah tersebut adalah Sultan Ground, dan SG tidak boleh diperjualbelikan.
Kamis 11 Mei 2017 kemarin beberapa perwakilan dari warga setempat sowan ke Keraton Yogyakarta, untuk mendapatkan penjelasan dari pihak Keraton. GKR Condrokirono (anak pertama HB X) menyampaikan, segala hak kekancingan atau hak mengelola SG berada di tangan Panitikismo yang saat ini diketuai KGPH Hadiwinoto (adik kandung HB X). Dalam kesempatan terpisah menyampaikan "Tanah Kasultanan tidak pernah diperjualbelikan. Jika dipindah tangankan, selalu ada rekomendasi dari Ngarsa Dalem HB X, biasanya untuk kepentingan sosial. Pihak Keraton berharap bila terjadi kasus serupa, agar secepatnya melaporkan, karena pihak Keraton Yogyakarta tidak bisa memantau satu per satu SG yang tersebar sangat luas letaknya.
Achiel Suyanto, selaku anggota Tim Asistensi RUUK DIY menyampaikan bahwa RM Triyanto memang tercatat sebagai keturunahn keempat dari HB VII, namun RM Triyanto TIDAK TERCATAT sebagai ahli waris aset atau yang mendapatkan hak atas aset yang dimiliki HB VII, karena eyang buyut RM Triyanto meninggal lebih dulu daripada HB VII. Berdasarkan nama-nama yang tercatat pada ahli waris HB VII yang dikeluarkan tahun 1958, tidak ada nama eyang dari RM Triyanto. Jadi yang posisi hukumnya yang bersangkutan hanya sebagai ahli waris keluarga, bukan ahli waris aset.
Bila memang benar RM Triyanto tidak punya hak waris aset, dan melakukan pengaplingan tanah di Berbah, Sleman, dan memperjualbelikan, berarti tindakan itu adalah ilegal, alias tidak mempunyai dasar hukum. Dalam pemberitaan koran Kompas tanggal 7 Februari 2017 juga tercantum nama RM Triyanto Prastowo Sumarsono mengaku memiliki/menguasai tanah di Magelang dengan No Kode: VII.A-13,B-18c-1,D-3, Ahli Waris Turun Temurun, Hamengku Bowono VII. Menengok kejadian di Berbah, Sleman, Yogyakarta, dengan tidak diakuinya Dia RM Triyanto sebagai ahli waris aset HB VII, berarti dia tidak punya hak mengakui SG di tempat lainnya juga.
Semoga kejadian ini bisa menjadikan warga lainnya yang memang sempat / pernah mengalami kejadian serupa, dengan pihak yang mengaku Trah dari Keluarga Keraton Yogyakarta untuk bisa memverifikasi keabsahannya langsung ke Keraton Yogyakarta.
(AJS/Yogyakarta)