Lihat ke Halaman Asli

Idola Anak-anak Kita

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu ketika beberapa tahun lalu, seorang teman bercerita dengan rasa bangga tentang anaknya yang ketika itu belum genap usia sepuluh tahun, yang begitu mengidolakan seorang penyanyi muda di sebuah ajang pencarian bakat. Dia bercerita bagaimana anaknya yang tiap hari bernyanyi keras-keras, menghapal lagu, bersemangat meminta orang tuanya untuk membeli gitar dan mengisi sebagian waktunya dengan kursus gitar dan bernyanyi. Saya dengar sang bocah yang kini beranjak remaja cukup sering tampil di pentas-pentas lokal bernyanyi dan memainkan gitar.

Ada lagi cerita ketika terdapat seorang tetangga yang tak pernah berhenti memberi nasihat bagi anaknya yang kini akan memasuki sekolah menengah atas, agar nanti jika besar jangan pernah berpikiran untuk menjadi politisi, pejabat, ataupun pegawai negri. Ini menjadi sebuah paradoks memang, karena saya masih ingat ketika saya muda dulu betapa profesi pegawai negri di masa orde baru menjadi sebuah idola. Bukan karena mengedepankan semangat pelayanan tapi menjadi idola karena dari situlah besar kemungkinan akan mendapat penghasilan sampingan. Beberapa orang masih beranggapan seperti itu hingga kini. Tapi sang tetangga ini rupanya berbeda, dia mewanti-wanti anaknya agar jangan jadi perangkat negara karena melihat betapa maraknya saat ini politisi dan pejabat yang berurusan dengan penegak hukum atas kasus korupsi. Kalau tadi ada anak mengidolakan seorang penyanyi, yang ini sang anak diminta untuk tidak mengidolakan menjadi pengurus negara.

Menarik ketika suatu waktu beberapa tahun lalu anak saya berbagi kepada saya tentang apa yang menjadi cita-citanya. Dia ingin besar nanti menjadi seorang programer pembuat game! Ketika itu dia memang begitu antusias dengan game. Hal yang terkadang membuat saya harus ekstra memutar otak memandunya agar mau disiplin menghargai waktu ditengah gairahnya bermain game. Tapi ungkapan polosnya cukup membuat saya melihat bahwa dampak seorang anak bermain game ternyata tak hanya merangsang berpikir sang anak untuk sekedar menikmati ataupun ‘terjebak’ dalam asyiknya permainan game, tapi rupanya juga bisa mendorong sang anak untuk berpikir tentang keinginan untuk membuat permainan itu.

Beberapa tahun berganti, membuat keinginan anak saya pun berkembang, ketika tak lama beberapa waktu lalu dia tiba-tiba berkeinginan untuk menjadi dokter. Ah! Darimana dia mendapat informasi tentang profesi seorang dokter? Dari diskusi dengannya ternyata saya melihat sebuah alur logika yang juga menarik. Dia ingin menjadi dokter karena ingin menyembuhkan orang sakit. Mendapat ide seperti ini karena rupanya di televisi ketika itu lagi marak tayangan reality-show adegan hipnosis, yang pada akhirnya berkeinginan untuk memberi penyembuhan, yang umumnya pada sakit yang bersifat psikis. Dan ‘menyembuhkan’ di benak dia adalah seorang dokter. Karena dokter adalah tempat yang harus didatangi ketika seseorang sakit, begitu mungkin jalan pikirannya. Maka jadilah cita-cita itu bergeser menjadi dokter yang bisa menghipnotis!

Ini hanya berselang beberapa hari ketika kemudian keinginan saat besar nanti tiba-tiba kembali berubah ketika melihat saya sendiri memperbaiki pompa air di rumah. Anak saya bertanya mengapa saya bisa memperbaiki pompa sendiri. Saya pun menjawab bahwa saat papa kuliah dulu juga belajar tentang pompa air. Dan jadilah ketertarikannya saat itu untuk juga menjadi seorang insinyur!

Beberapa dasa warsa terakhir ini memang perubahan begitu cepat. Termasuk dinamika bagaimana seorang anak memahami sekelilingnya. Hal yang sangat berbeda dengan saat kita orang tua mengalami masa kecil dulu. Dan anak-anak kita saat ini melihat dunia dengan cara yang terkadang diluar dugaan kita. Terutama bagi orang tua yang sangat terbatas waktunya untuk berbagi dan berkomunikasi dengan anak-anaknya. Di usia bawah sepuluh tahun, anak-anak sekarang, selain komunikasi dengan orang-orang disekelilingnya – orang tua, saudara, pembantu- lebih banyak mengenal dunianya melalui televisi dan permainan game, diluar hal-hal yang bersifat normatif dari sekolah, maupun hal yang saat ini sudah sangat terbatas yaitu bermain dengan teman sebaya di luar rumah.

Menginjak usia remaja, dunianya mulai bergeser dan lebih banyak diisi oleh ribuan informasi lalu-lalang yang ada di sosial media. Entah itu memang informasi yang bermanfaat ataupun sekedar sampah, semua akan dilihat oleh anak-anak kita sebagai hal yang memang itulah yang terjadi di dunia dan memang itulah yang berlaku bagi layaknya sebuah kehidupan.

Jadilah kemudian anak-anak kita mengenal profesi ustadz dari para selebriti televisi yang berkostum demikian sambil berbicara tentang satu-dua ayat. Atau dari seorang yang waktunya hanya diisi ‘ribut’ di twitter dengan berbekal tafsir ayat sepotong-potong kemudian menganggap jelek dan sesat orang-orang diluar kelompoknya. Mereka anak-anak kita juga saban hari melihat tentang seorang yang tiap hari muncul di televisi bergoyang berjingkrak dan berpenghasilan puluhan juta memperlihatkan gaya hidup mewah. Di sela-sela tayang film kartun sore hari, anak-anak kita juga sesekali melihat berita bagaimana para politisi bersilat lidah tentang suatu hal, terkadang dibumbui dengan bahasa-bahasa sarkasme dan merendahkan orang lain, sehingga pada jam tayang dimana anak-anak banyak melihat televisi itu mereka belajar tentang cita-cita yang sepertinya mengasyikkan yaitu politisi yang dengan bebas bisa berkata mengabaikan kesopanan dan etika.

Di luar sana hampir tak ada pembelajaran bagi seorang anak dalam mengidolakan seseorang demi mimpi menancapkan cita-cita, yang berisi tentang kecintaan terhadap sebuah peran pekerjaan, tentang ketekunan pada profesi, tentang mata pencaharian yang merupakan bagian keseimbangan kehidupan. Saat ini hampir tak ada seorang anak yang dengan bangga bercerita tentang seorang petani yang begitu tekun pada perannya demi memberi hasil bumi yang berkualitas yang nantinya akan dikonsumsi oleh semua orang. Anak-anak sekarang hampir tak pernah dikenalkan tentang sosok ahli di dunia penerbangan yang kemudian menekuni dan mencintai profesinya, entah itu sebagai perancang pesawat, pembuat standard aturan, insinyur pemelihara pesawat, operator penerbangan, sampai pilot dan awaknya, sehingga menaikki pesawat di angkasa yang begitu ringkih itu tetap menjanjikan keselamatan dan kenyamanan.

Anak-anak lebih mudah disana-sini mendapat pembelajaran tentang betapa bergayanya menaikki mobil mewah dan tak pernah dikenalkan tentang rumitnya profesi yang men-deliver mobil itu dari sejak ide, konsep, desain, pembuatan, pemasaran sampai distribusinya. Bahkan ditengah beberapa kejadian gunung meletus akhir-akhir ini, informasi di mata telinga anak-anak kita penuh malah oleh kepanikan, saling menyerang, saling menyalahkan justru oleh orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Butuh upaya orang tua agar bisa menggaris bawahi segala berita sehingga bisa ditangkap oleh anak-anak kita tentang sikap tanpa pamrih para relawan dan petugas di lapangan, tentang sosok seperti misal pakar vulkanologi Surono yang dengan kesederhanaannya mencintai dan amanah terhadap apa yang menjadi keahliannya.

Dan semua ini berpulang kepada kewajiban orang tua. Bila Kahlil Gibran berkata bahwa ‘anak-anak kita bukanlah anak-anak kita’ sebagai ‘pemilik masa depan yang tak mungkin kita (orang tua) kunjungi sekalipun dalam mimpi’, bukan berarti bahwa kita sebagai orang tua membiarkan anak kita mengalir sendiri mengarungi pendidikan formal dan interaksi dengan sekelilingnya. Mereka akan selalu butuh sosok idola sebagai modal membangun ‘rumah masa depan’, mereka harus memiliki cita-cita. Dan sudah menjadi tugas kita orang tua untuk bisa selalu memfasilitasi informasi seluas-luasnya tentang kemungkinan ‘masa depan’-nya sehingga memiliki kecintaan terhadap pilihannya. Bukan sekedar karena popularitasnya, bukan sekedar karena bisa menjadikannya kaya, tapi karena cinta kepada perannya, yang memberikan rasa bangga dan selalu memberikan hal terbaik atas apa pun yang dilakukannya.

Dan ditengah profesi dan sosok yang hanya tampak gemerlap diperlihatkan media, tugas para orang tua untuk selalu memperkenalkan sosok-sosok penting yang seharusnya menjadi idola tapi tak banyak diceritakan. Mereka bisa saja disekitar kita. Tentang cerita kegigihan seorang pengusaha dari nol merangkaki usahanya, tidak hanya sekedar memperlihatkan keadaan suksesnya sekarang. Tentang contoh-contoh pejabat, seorang camat, polisi, guru, lurah mungkin, yang betul-betul berpegang pada nilai dalam menjalankan tugasnya, yang bisa jadi ada di sekitar kita. Atau tentang seniman, musikus, sastrawan, yang berdiri menjadikan seni tidak sekedar obyek mendapatkan uang tapi yang utama adalah sebagai media dalam memahami kehidupannya.

Anak-anak kita juga sepertinya semakin berjarak dengan informasi orang-orang hebat yang pantas diidolakan dalam perjalanan sejarah bangsa. Mereka hanya mengenal para tokoh pejuang bangsa itu dari pelajaran sekolah yang terkadang kaku dan tidak menyentuh hati dalam penyampaiannya. Mereka hanya mengenal Hatta sebagai proklamator, tidak menyentuh pada sikap kenegarawanannya. Bung Tomo, Soekarno, Supriyadi hanya dilihat oleh anak-anak kita sebagai fragmen-fragmen pelaku sejarah, tidak teridolakan sebagai sosok yang menebar jiwa nasionalisme berbangsa. Butuh peran orang tua yang saya tahu itu tak mudah ketika seorang bocah belajar tentang pelajaran sejarah di rumah, untuk juga sedikit bercerita tentang idola sebuah sikap, tentang cita-cita sebuah pendirian, dari para tokoh pahlawan bangsa kita.

Dan itu tak akan terjadi bila kita orang tua hanya melakukan pembiaran terhadap tumbuh kembang anak, sehingga menciptakan idola, tokoh, atau definisi cita-cita, dari interaksi alamiahnya dengan sekolah dan –ini yang paling mengerikan- dengan media (televisi, sosial media, dsb). Campur tangan orang tua menjadi kewajiban untuk menjembatani semua sumber informasi itu sehingga setiap idola, tokoh dan definisi cita-cita itu bisa terbangun utuh dan lengkap. Dan itu hanya akan terjadi bila kita orang tua mau untuk peduli, mau untuk selalu belajar, dan mau untuk berkeinginan ikut mengupayakan dunia yang lebih baik bagi anak-anak kita kelak. Apapun upaya kita untuk menjadikan kehidupan kita saat ini agar lebih baik, saya pikir tak akan begitu banyak bermanfaat bila kita justru mengabaikan hal-hal yang dapat membuat kehidupan anak-anak kita di generasi mendatang bisa untuk lebih baik.

Mereka anak-anak kita adalah pemilik ‘rumah masa depan’ yang tak perlu melakukan kesalahan yang telah kita orang tua lakukan, kesalahan para pendahulu kita…

18 Feb 2014

Pitoyo Amrih

pitoyo.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline