Terobosan baru, Desa Kolbano akan segera memiliki sebuah Obyek Wisata Modern.
Begitulah kira-kira intisari kegaduhan berita di media-media lokal Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, pertengahan 2020 lalu. Ruang-ruang obrolan media sosial pun ikut diramaikan rencana pembangunan sebuah lokasi pariwisata desa modern berbiaya ± 1,5 Miliar di kawasan wisata Pantai Kolbano itu.
Sejak dulu Desa Kolbano telah memiliki sebuah obyek wisata alamiah bernama Pantai Fatu Un —nama aslinya Fatu Han (: batu berbunyi)— yang terkenal hingga mancanegara berkat keunikan yang tak dimiliki pantai mana pun di dunia.
Di sana berdiri tegap sebuah batu raksasa setinggi ± 30 m yang dihiasi hamparan koral berwarna-warni seperti merah, putih, coklat, dll. Lautnya bersih dengan air berwarna toska sejuk. Keindahan itu disempurnakan oleh latar belakang sebuah tanjung cantik yang menjorok hingga ke tengah laut lepas. (Silakan searching untuk mengenal lebih jauh).
obyek wisata baru berjuluk Bukit Fatuhan.
Di hadapan pantai Fatu Un terdapat sebuah bukit terjal yang belum terjamah. Dari puncak bukit setinggi ± 40 meter itu kita bisa menikmati keindahan paripurna pantai Kolbano. Bukit itulah yang hendak disulap menjadiFasilitas-fasilitas yang akan dibangun di antaranya: tangga seribu, 4 buah lopo (rumah tradisional Timor) di lereng, belasan gazebo dan tempat karaoke di puncak, tempat parkir, hingga lapak-lapak berjualan. Akan dikerjakan dengan metode pemberdayaan masyarakat dan setelah selesai akan dikelola Bumdes setempat.
Para pejabat dari desa hingga kabupaten pun memuji. "Konsepnya luar biasa," suara mereka senada.
Proyek fantastis itu akan dikerjakan secara bertahap selama 3 tahun menggunakan dana desa, diawali dengan silpa 2019 senilai ± 500 juta.
Sebagai warga yang mengenal kampungnya dengan baik, saya sempat mengajukan beberapa pertanyaan kritis. Intinya adalah saya menilai desainnya asal-asalan, terlalu berlebihan dan minim data lapangan sehingga mustahil untuk direalisasikan. Sebaliknya, justru akan semakin merusak keseluruhan kawasan Pantai Kolbano. (Screenshot-nya ada di ujung artikel). Saya memilih jalan itu karena medsos adalah jalur termudah dan paling berpeluang didengarkan para penguasa kami.
Saya tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Informasi dari sumber-sumber tepercaya mengatakan kalau kritikan saya itu dibaca oleh pihak-pihak penentu kebijakan tetapi mereka memilih untuk tidak menghiraukannya karena menganggap itu hanyalah ungkapan iri hati politik semata. Pekerjaan pun dilanjutkan.
Meskipun hal itu saya lakukan atas dasar kecintaan dan kepedulian terhadap Pantai Kolbano, tapi oke-lah... Saya tak mampu berbuat banyak. Biarkan waktu yang akan menjawab.