Lihat ke Halaman Asli

Pither Yurhans Lakapu

Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Saya, Guru "Killer" dan Matematika

Diperbarui: 25 November 2016   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

NAMANYA Pak David, berusia paruh baya ketika saya duduk di bangku kelas 4 SD. Di kalangan anak didiknya, beliau dikenal sebagai guru yang hemat bicara tapi sangat "killer" di kelas. Tak segan-segan ia memukul jari-jari tangan atau betis siswanya dengan penggaris kayu, mencubit telinga atau menyuruh berdiri satu kaki sambil memegang kedua telinga di depan kelas. 

Siswa-siswa selalu tak berani melawan, apa lagi harus mengadu ke orang tua lalu berujung laporan polisi dengan alasan pelanggaran HAM seperti yang kerap terjadi belakangan ini. Di desa kami, guru ibarat sesosok "diktator" bagi murid-muridnya.

Suatu hari saat pelajaran matematika, saya dibuatnya menangis tersedu-sedu padahal tidak sedang diganjar hukuman fisik apa-apa (melankolis amat... hehehe). Saya tahu, seandainya saya bukan anaknya Kepala Sekolah maka sudah pasti hukuman minimal yang harus saya terima adalah berdiri satu kaki di depan kelas sambil memegang kedua telinga selama jam pelajaran matematika hari itu. 

Penyebabnya adalah perbedaan jawaban terhadap sebuah soal perkalian bersusun. Pada langkah menjumlahkan angka-angka untuk memunculkan hasil akhir, beliau salah menjumlahkan 2 buah bilangan sehingga hasil akhirnya berbeda dengan hasil "cakaran" saya. Sebenarnya jawaban saya benar 4+2=6, tapi entah apa yang sedang mengganggu pikiran Pak David sehingga beliau menuliskan di papan tulis 4+2=8. Jawaban sayapun dianggap salah!

Saya mencoba memberitahu kalau yang benar itu 6 bukan 8 tapi beliau bersikukuh tidak mau mengoreksinya. Teman-teman sekelas diam tak bersuara, entah karena belum paham cara menyelesaikan soal itu atau karena takut diganjar hukuman akibat "melawan" guru. Saya terpaksa mengalah setelah diancam hukuman atas ulah mempertahankan jawaban yang "salah," sedangkan jawaban Pak David dianggap benar. 

Saya pasrah diberi nilai nol untuk soal itu, hanya dari sudut mata menetes butiran-butiran air mata sedih karena emosi yang tertahan. Beliau tak mau menghiraukan ekspresi saya itu.

"Kenapa saya benar tapi disalahkan?"

"Kenapa Pak David tidak mau mengalah untuk mengoreksi kembali langkah demi langkah penyelesaian soal itu untuk menemukan kesalahan yang telah dibuat?"

"Kenapa guru selalu merasa benar?" Keluhku dalam hati.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya pun tidak mengadukan masalah ini kepada bapak. Saya hanya bertanya kepada mama saat pulang ke rumah sekedar ingin memastikan bahwa hasil pekerjaan saya benar.

Sejak saat itu saya menjadi "dendam" terhadap matematika. Saya bertekad untuk "lebih pintar" agar bisa didengar Pak David kalau saya berargumen. Saya tak mau lagi dianggap hanya seorang siswa yang "selalu salah." Saya harus membuktikan kepada Pak David juga semua guru bahwa saya bisa matematika. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline