Lihat ke Halaman Asli

Pither Yurhans Lakapu

Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penyandang Disabilitas: Dukungan Sosial dan Implementasinya

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1393909410211318686

[caption id="attachment_325799" align="aligncenter" width="604" caption="Ilustrasi/ Admin (Tribunnews.com)"][/caption]


Empat tahun terakhir saya berjuang melawan penyakit Mielitis Transversa. Penyakit cukup langka yang membawa saya harus menerima status sosial baru yaitu "penyandang disabilitas" (People with disabilities, PwD). Status baru ini membukakan kenyataan akan beratnya perjuangan mendapatkan hak dan martabat sebagai warga berkebutuhan khusus.


Artikel ini kutulis sebagai sebuah refleksi pribadi atas ketimpangan-ketimpangan yang dialami seorang PwD berdasarkan pengalaman, pengamatan dan sharing bersama PwD lainnya.


Keberadaan PwD di negeri ini (lebih khusus NTT), masih dianggap sebagai warga kelas kesekian. PwD seakan hanya menjadi "beban", digolongkan dalam kelompok masyarakat yang tak berguna lagi dan masih terdiskriminasi.


Padahal bila dipandang dengan kaca mata positif, PwD adalah sesama manusia yang juga membutuhkan perlakuan yang wajar dan setara. PwD adalah juga potensi SDM (catatan WHO di negara berkembang jumlahnya mencapai 15% penduduk) yang dapat memberikan kontribusi, setidaknya sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas keberadaan mereka.


Berawal dari keluarga sebagai kelompok masyarakat terdekat dan pondasi pendukung utama. Mindset masyarakat kita yang melankolis cenderung "kasihan" terhadap PwD sehingga berimbas pada pemahaman bahwa PwD sebaiknya hanya di dalam rumah. Memberi kebebasan bagi PwD untuk berkarya dan berekspresi dinilai sebagai sebuah "hukuman" ketimbang penghargaan.


Secara sosial PwD harus melawan stigma bahwa ketidaksempurnaan organ tubuh sama dengan sudah tidak bisa berkarya lagi. Sangat minim dukungan sosial bagi PwD untuk merasa diri berguna bagi sesama. Berikut pengamatanku akan beberapa hal yang cukup berpegaruh bagi eksistensi PwD namun sering luput dari perhatian:


1. Ekonomi.

Keberadaan PwD dalam aspek ekonomi menjadi hal yang dilematis. Di satu sisi dianggap sebagai beban sementara di sisi lain mereka dibatasi dan tidak didukung secara maksimal.


Penetapan syarat sehat jasmani dan rohani dalam perekrutan dan pemberlakuan tenaga kerja menjadi hambatan utamanya. Tenaga kerja dianggap tidak sehat bila menggunakan tongkat, kaca mata hitam atau kursi roda. Keterampilan yang miliki PwD menjadi sia-sia ketika diperhadapkan pada syarat sehat jasmani dan rohani yang batasannyapun tidak begitu jelas.


Sementara di segi lain, berbagai survey dan laporan statistik mengelompokkan PwD sebagai golongan tak berpenghasilan dan warga miskin yang membebani secara ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline