Lihat ke Halaman Asli

Pither Yurhans Lakapu

Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Ketika Menelan Menjadi Sebuah Momok [Pengalaman Menderita Mielitis Transversa]

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1417694232211651754

[caption id="attachment_380616" align="aligncenter" width="530" caption="www.biomagnetismo.pro"][/caption]

"Kak makannya banyak? Selera makan baik?" Tanya Mita, seorang teman sesama survivor Mielitis Transversa dalam obrolan BBM kami beberapa waktu lalu.

"Sekarang sudah baik Mit, lumayan banyak makannya, gak kayak dulu lagi," jawabku.

"Aku gak selera makan kak. Makannya dikit, suka mual." Cerita gadis 26 tahun itu tentang perkembangan nafsu makannya setelah sekitar 3,5 tahun menderita Mielitis Transversa.

Mita lalu bertutur tentang upayanya untuk mendongkrak nafsu makan baik secara alamiah hingga menggunakan obat yang mahal. Namun hingga kini usaha itu belum membuahkan hasil. Di saat hampir bersamaan, statistik blog juga mencatat kata kunci pencarian "terapi menelan pada mielitis transversa." Jadilah saya terusik berbagi pengalaman lewat artikel ini.

Nafsu makan memang merupakan sebuah momok bagi penderita Mielitis Transversa (silahkan bandingkan dengan berbagai referensi medis). Bagi penderita Mielitis Transversa, masalah nafsu makan ini cukup berbeda bila dibanding dengan penyakit lain (setidaknya menurut pengalaman saya). Bedanya adalah kalau pada penyakit lain, ketiadaan nafsu makan umumnya dipengaruhi oleh rasa tidak enak pada mulut atau gangguan lambung yang menolak adanya asupan makanan sehingga muntah atau sekedar mual-mual. Sedangkan pada penderita Mielitis Transversa, rendahnya nafsu makan lebih disebabkan oleh kesulitan menelan (disfagia), terlepas dari adanya komplikasi penyakit atau gangguan lain.

Awal saya diserang Mielitis Transversa 4,5 tahun lalu, selama kurang lebih seminggu asupan makanan dimasukkan lewat selang NGT (nasogastric tube, suatu selang pendek yang dimasukkan ke dalam lambung melalui hidung pasien yang mengalami gangguan fungsi menelan atau mengunyah). Setelah itu walaupun masih cukup sulit, saya sudah bisa menelan bubur sehingga selang NGT itu dilepas.

Kesulitan menelan ini terus berlangsung dan menjadi 'beban' tersendiri hingga sekitar 3 tahun kemudian. Awalnya saya mengonsumsi bubur setiap saat namun lama-kelamaan bosan juga sehingga kepingin makan nasi. Toh, tidak ada pantangan mengonsumsi makanan tertentu.

"Cepat ditelan, jangan terlalu lama 'memainkan' makanan dalam mulut," begitu komentar orang melihat bagimana saya seolah bermain-main dengan makanan dalam mulut dan enggan untuk menelannya.

Tidak segampang itu mengatasi masalah yang seharusnya berlangsung tanpa disadari ini. Gangguan saraf akibat Mielitis Transversa menyebabkan gerakan otot-otot sekitar kerongkongan yang mengatur proses menelan seolah tidak berkoordinasi dengan baik alias tidak padu. Otot-otot yang saya maksud adalah pangkal lidah, katup pernapasan dan kerongkongan (nama medis otot-otot itu apa ya?). Mungkin ada otot-otot lain yang terlibat tapi saya uraikan sesuai pemahaman saya sebagai awam saja.

Setiap gerakan pangkal lidah mendorong masuk makanan ke tenggorokan seolah tidak matching dengan tarikan napas. Setiap kali hendak menelan selalu timbul keraguan untuk menentukan timing yang tepat, ada ketakutan akan salah timing sehingga tersedak atau mungkin saluran napas tersumbat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline