Lihat ke Halaman Asli

Pither Yurhans Lakapu

Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Jangan Menjual Jagung di Pasar ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ama, ena, olif, tataf alakit.... Mi' sosa nai!" teriak kepala desa yang juga tua adat setempat di tengah pasar tradisional itu. Kalimat yang kurang lebih berarti, "Bapak, mama, adik, kakak sekalian... Sekarang sudah boleh berjualan," sontak membuat pasar yang sebelumnya cukup hening menjadi ribut oleh hiruk-pikuk transaksi layaknya pasar tradisional lain.

Itulah salah satu keunikan pasar tradisional desa Nualunat, Kec. Kot'olin, Kab. TTS-NTT. Sebuah pasar yang masih sangat alamiah. Letaknya terpencil di selatan Pulau Timor, sebelumnya cukup sulit dijangkau kendaraan dari kota terdekat, baru tahun ini akses ke sana cukup terbuka setelah mulai dibangunnya jalan Trans Selatan Timor. Di pasar tradisional yang berlangsung setiap hari senin ini, siapapun dilarang untuk melakukan transaksi sebelum ada pengumuman dari Kepala Desa atau tetua adat yang mewakili. Dalam bahasa setempat pengumuman untuk boleh berjualan dikenal dengan bonun. Bonun dilakukan sekitar jam 7.00 pagi.

Biasanya setiap hari senin pagi sebelum jam bonun, mereka yang ingin berjualan sudah berbondong-bondong datang kesana untuk menggelar dagangannya di lapak berupa tikar dari anyaman daun lontar, terpal ataupun rangkaian karung yang digelar di atas tanah.

Barang yang dijual di sana adalah bahan-bahan kebutuhan harian khas pasar tradisional diantaranya hasil kebun seperti umbi-umbian, pisang, kelapa, buah-buahan. Ada juga ikan, ternak kecil seperti ayam, kambing, anak babi, hingga barang-barang seperti sabun, pakaian, dan lainnya. Khusus ternak letaknya agak berjauhan dari pusat pasar.

Masyarakat yang ingin berbelanja di sana akan datang agak belakangan menjelang jam bonun, namun tidak ada transaksi yang berlangsung sebelum ada bonun. Pengunjung pasar ini mungkin berkisar 700an orang yang datang dari 4-5 desa sekitar.

Jika sebelum ada ijin berjualan dan ada pembeli yang 'naksir' dengan barang tertentu maka harus bersabar, dia hanya boleh bertanya berapa harganya. Nanti setelah ada bonun barulah si pembeli datang untuk melakukan transaksi dan mengambil barangnya.

Jika ketahuan melakukan transaksi sebelum diijinkan (belum ada bonun) maka si penjual maupun pembeli akan dikenakan sanksi. Sanksi umumnya berupa denda uang, larangan berjualan untuk jangka waktu tertentu, hukuman fisik seperti disuruh berlari menempuh jarak tertentu, melakukan kerja sosial atau hukuman lain yang ditentukan oleh kepala desa.

Alasan utama diberlakukannya bonun adalah sebagai upaya untuk mengatur agar "hajatan" mingguan itu berjalan tertib dan aman. Ini dikarenakan dulu sering terjadi gesekan antar warga saat berinteraksi di pasar dan tak jarang terjadi adu fisik (katanya sih pernah terjadi baku potong). Umumnya pemicu konflik adalah masalah muda-mudi karena bagi masyarakat setempat pasar bukan hanya tempat jual beli tapi juga menjadi tempat berkumpul, menikmati hiburan keramaian, bertemu jodoh hingga sebagai tempat "pamer ego" anak muda yang sedang mencari identitas.

Biasanya kalau terjadi konflik terbuka yang berpotensi timbul masalah yang lebih besar maka kepala desa alias tua adat akan kembali bonun agar transaksi hari itu dihentikan dan pasar dinyatakan bubar lebih awal. Bahkan ada kejadian dimana masalah yang berawal dari pasar semakin luas dan melibatkan banyak orang maka Kades berhak menutup pasar itu untuk jangka waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan sampai suasana kembali kondusif.

Di desa ini, kepala desa memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur segala sesuatu karena yang menjabat kepala desa adalah juga pimpinan masyarakat adat turun-temurun sejak nenek moyang.

Pasar adalah sarana menjalin persaudaraan sehingga lebih baik ditutup namun persaudaraan tetap terjaga dari pada tetap ada namun hanya sebagai arena permusuhan. Pasar tidak melulu tempat berputarnya uang tapi juga sebagai tempat memperkuat ikatan kekeluargaan. Di tengah hiruk-pikuk pasar, warga akan menyempatkan dari bersama sanak famili dan kenalan yang ditemui di sana untuk saling berbagi dan bersama mengunyah sirih-pinang yang dimiliki, sebuah tradisi yang menjadi simbol kekeluargaan dalam masyarakat Timor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline