Pasca beranak, "Sam" kucing kami, terus saja meraung. Entah sebab apa. Saya yang tengah membersihkan kamar makan dibuat tersentuh dengan Bude yang memasak di dapur, "Kayaknya dia mencari anaknya". Begitulah kucing kerap meraung bagai terisak kala kehilangan anaknya.
"Sam" akhirnya hanya dapat menyelamatkan seekor saja. Belum kami beri nama. Alhasil, anak itu terus dia bawa ke manapun dia pergi. Karena "Sam" tidak dapat menggendong, ia mencengkram (namun tidak melukai). Anak "Sam" pun tak menangis karena merasa aman di rahang ibunya.
Saya teringat akan Novel Arswendo Atmowiloto, "Dua Ibu", yang baru saja saya pinjam di Rumah Baca dua bulan lalu. Di situ dia menulis, "Ibu adalah induk merpati, tetapi juga induk harimau. Yang dalam keadaan paling lapar dan marah sekalipun tak akan memangsa anaknya". Sedemikian kagum seorang anak pada ibunya membuat Arswendo menulis di alinea berikutnya, "Kalau mungkin aku ingin kawin dengan ibu. Padanya aku tak pernah sangsi bahwa aku mencintainya, dan padanya aku tak pernah sangsi bahwa ia mencintaiku" (hal. 12).
Sewaktu berada di bangku SMA dulu, saya juga pernah berpacaran dengan seorang gadis. Katarina nama gadis itu. Nama yang persis sama dengan ibuku. Keduanya pun hampir mirip, berkulit putih, bermata coklat, dan tingginya pun persis di dadaku jika diukur dari depan.
Kembali pada kisah Sam, hewan mamalia yang mencari anaknya. Ternyata hal itu pun terjadi pada unggas. Dulu sewaktu kecil, salah satu "permainan" yang tak tahu saya menamainya apa, adalah menangkap anak burung kemudian meletakannya di sebuah tangkai pohon. Anak burung yang kendati tak memahami apapun, namun merasa bahwa jauh dari dekapan ibunya adalah ancaman terbesar, akan menciak senyaring-nyaringnya. Dan tak berselang lama, induknya akan dengan sangat perkasa mencari keberadaan anaknya sampai ia menemukannya.
Tidak hanya itu, jika kaki anaknya itu kami ikat atau direkat dengan lem yang diambil dari pohon mangga, maka ibunya akan tetap berdiri di ujung pohon dan terus berdekuk nyaring sebagai isyarat pada anaknya bahwa ia akan baik-baik saja.
Sebuah peristiwa yang takkan pernah saya lupakan adalah kisah tentang amukan induk Srigunting. Pernah suatu ketika, ibuku yang bersama ibu-ibu kampung lainnya bekerja di lahan orang mendapati dua ekor anak Srigunting dalam perjalanan pulang. Srigunting sendiri adalah burung pengicau yang di Alor diyakini menyimbolkan kehadiran leluhur. Di Tombang, nama kampung tempat saya berasal, Srigunting merupakan representasi kehadiran dari Nene Loinlik dan Kidingkai. Dua nama yang pemali kalau disebut.
Jadi entah apa yang ada di benak ibuku, ia berani mengambil dua ekor burung tersebut dan membawanya ke rumah. Kala itu saudari perempuanku yang pertama tengah hamil tua. Ketika hari telah berangsur gelap, kami yang tengah makan malam sontak dikagetkan dengan kemunculan induk Srigunting yang terbang dengan begitu perkasa masuk ke rumah kami. Ia berusaha menerkam kakaku yang pertama yang langsung saja berlari bersembunyi di belakang bapak.
Burung itu seperti marah menahan pedih karena ada manusia yang mencoba menjauhkan anaknya darinya. Ia menembusi lorong-lorong rumah seperti pesawat tempur yang hendak meluncurkan senjata penghancur. Namun berbeda dengan burung yang biasanya kami jaili, yang umumnya mengeluarkan suara, Srigunting mencarinya "tanpa bersuara" namun diamnya tegas. Dendam!
Itu tampak dalam kipasan sayapnya yang membentang kokoh dan terkesan kaku sembari menatap lurus dengan tajam seperti busur. Padahal, burung Srigunting kala ia berdekuk, seisi kampung dapat mendengar suaranya dari kedalaman rimba. Sepertinya, ia kelelahan karena jarak tempuh dari kediamannya, atau tempat pertama kali dua anak burungnya itu diambil, puluhan kilo karena jauh dari perkampungan.