Lihat ke Halaman Asli

Sejauh Ini!

Diperbarui: 13 September 2023   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Hi Bry.....

Bagaimana kabarmu!

Seperti biasa saya memilih menyurati agar bisa bercerita lebih panjang dari sekadar memastikan keadaan dan keberadaanmu. Saya harap di tengah kesibukanmu mempersiapkan tahbisan diakonat kamu dapat membaca surat ini. Anggaplah renungan perjalanan, atau, etahlah! Yang terpenting, kamu dalam keadaan baik-baik saja saat membaca surat ini. Karena kesehatanmu adalah jaminan utopis kalau kita, suatu saat nanti, dapat bercakap-cakap dari muka ke muka.

Sebelumnya, surat ini saya buat di puncak danau Kelimutu, danau tiga warna yang terkenal di Pulau Ende. Tentang Ende tentu kamu pernah mendengarnya. Ia dijuluki kota lahirnya Pancasila dan dalam catatan sejarah Sukarno pernah diasingkan di tempat ini.

Menurut cerita para klerus di sini, ketika Sukarno tiba di pulau Ende untuk menjalani masa pengasingannya antara 1934-1937, sebagai seorang idealis, dia tidak memiliki rekan berdialog atau bercakap yang sepadan. Maklumlah, orator ulung, menurut mereka, visioner kebangsaan, berjumpa dengan pribumi Ende yang tanpa visi (kata mereka waktu itu), berpikir hanya tentang pagi dan malam---tanpa masa depan--- tentang bagaimana bisa bertahan hidup. Alhasil, Sukarno banyak mengunjungi seminari-seminari karena baginya, di tempat demikianlah dia menemukan rekan bicara yang sepadan.   

Tentang rekan bicara yang sepadan inilah yang membuat saya selalu mengingatmu, atau jika tidak berlebihan, merindukanmu.

"Sepadan" bagi saya bukan hanya soal kesamaan visi, tapi juga emosi. Atau dalam termin generasi sekarang "sefrekuensi". Tapi saya juga tidak ingin jatuh pada kosa kata milinearisme yang menyederhanakan "sefrekuensi" menjadi sekadar kesamaan kesukaan, olah rasa yang berujung pada fanatisme rasional, kesamaan ide--- analogical principle of knowledge: Like is known by Like. Kadang untuk sampai pada kejernihan cara berpikir, kita butuh oposisi--- dialectical principle of knowledge: Like is known by its opposite

Bry! Saya masih mengingat pesanmu sewaktu saya baru saja selesai melewati program Tanur di novisiat akibat penundaan tahbisan diakonat:

"Semangat kawan. Saya tahu rasanya ditunda, karena pernah mengalami. Setiap proses pasti memiliki anuggerah. Potensimu banyak, sayang bila tidak menjadi berkat bagi sesama." (Whats Up: 26 Juni 2023). 

Pesan ini bagi saya berarti. Bukan karena semata-mata kalimatmu yang bernas, tapi kamu memberi di saat yang tepat. Dan yang lebih utama adalah itu datang dari kerabat sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline