Mendiang Benediktus XVI dalam bagian pertama bukunya, Behold the Pierced One, membela devosi kepada Hati Kudus terutama dengan memanfaatkan Haurietis Aquas karya Pius XII. Dalam Jesus of Nazareth, Spirit of the Liturgy, dan refleksinya mengenai Ekaristi, Benediktus memaparkan "Kristologi Spiritual", yang di dalamnya Hati Kudus berfungsi sebagai gambaran yang sangat penting, karena "di dalam Hati Yesus, pusat Kekristenan ada di hadapan kita". Tulisan ini berisi tentang diskusi mengenai Kristologi Benediktus dan refleksinya pada episode Keraguan---atau lebih tepatnya, Percaya---Thomas.
Devosi kepada Hati Kudus mengalami dua serangan utama yang datang dari Gerakan Liturgi dan dalam intelektualisme era Pencerahan, yang mengklaim bahwa devosi tersebut emosional, sentimental, dan sensorik. Yang pertama mengklaim bahwa "devosi emosional" perlu "disubordinasikan" ke liturgi Latin yang lebih "objektif".
Sebagai tanggapannya, Haurietis Aquas, seperti ditulis Benediktus, "berkeinginan untuk mengatasi dualisme berbahaya antara spiritualitas liturgi dan devosi abad XIX, untuk membiarkan masing-masing dari keduanya merangsang yang lain. . . tanpa sekadar meleburkan yang satu ke dalam yang lain." Memprioritaskan liturgi, menurutnya, tidak boleh mengorbankan devosi, karena "liturgi sendiri hanya dapat dirayakan dengan baik jika dipersiapkan, dan disertai dengan, 'kediaman' meditatif--- Karena 'kamu hanya dapat melihat dengan baik dengan hatimu.'"
Namun apakah sebenarnya "kediaman meditatif" atau "memandang dengan hati"? Apa itu hati? Dalam tradisi Alkitab dan Patristik, hati adalah inti keberadaan seseorang. Benediktus merangkum teologi hatinya dalam Jesus of Nazareth: hati adalah "organ untuk melihat Tuhan" dan sebuah cara untuk berbicara tentang pribadi yang terintegrasi penuh.
Dalam skema ini, hati adalah keutuhan manusia dan totalitasnya, bukan "sekadar" pusat indera dan emosi. Benediktus menulis, "Indria-indria tidak boleh dibuang, melainkan . . . harus diperluas hingga kapasitasnya yang seluas-luasnya. Kita melihat Kristus dengan benar hanya ketika kita berkata bersama Thomas: 'Tuhanku dan Allahku!'" Melihat Tuhan dengan benar berarti mengarahkan seluruh keberadaan seseorang kepada-Nya.
Dengan demikian, mengabdi kepada Hati Kudus, melibatkan indera dan emosi, menatap gambaran Hati Kristus yang fisik dan terluka, bukanlah "emotivis", "anti-liturgi", atau "lemah"; sebaliknya, "spiritualitas indera pada dasarnya adalah spiritualitas hati, karena hati adalah . . . di mana indra dan roh bertemu, saling menembus, dan menyatu". Spiritualitas ini adalah Inkarnasional dan Kebangkitan ---yang pada hakikatnya adalah Paskah---karena berakar pada "sengsara Yesus, yang terangkum dan dituangkan dalam Hati".
Spiritualitas inkarnasi, lanjut Benediktus, "harus merupakan spiritualitas sengsara. . . ini adalah spiritualitas Paskah, karena misteri Paskah, misteri penderitaan, pada dasarnya adalah misteri hati". Oleh karena itu, secara meditatif tinggal bersama Hati Yesus, untuk melihat Hati-Nya dengan hati kita sendiri, adalah merenungkan misteri penderitaan melalui Misteri Paskah Kristus.
Benediktus merefleksikan penderitaan Kristus, yang berhubungan erat dengan Hati-Nya, untuk membantu para pembacanya memahami apa yang Dia alami demi cinta-Nya dalam Misteri Paskah. Di taman Getsemani Yesus menanggung kepedihan akibat "pengkhianatan, kesepian, pengabaian, dan pergulatan". Yesus, yang selalu menjadi "keberadaan", memilih untuk menderita. Benediktus menyimpulkan, "karena Dia adalah seorang pecinta".
Adapun penggunaan kata "taman" membangkitkan identitas Yesus sebagai Adam Baru, yang dari sisinya muncul Mempelai Perempuan, yaitu Gereja. Ketika lambung Yesus Mempelai Pria (Mark 2, Yoh 2) ditusuk, Yohanes menggunakan "kata yang sama persis seperti yang digunakan dalam kisah penciptaan untuk menceritakan penciptaan Hawa, yang biasanya kita terjemahkan sebagai 'tulang rusuk' Adam. . . Yesus. . . turun ke dalam kegelapan kematian dan membuka di dalamnya permulaan kemanusiaan yang baru" yang kini ditopang oleh sakramen-sakramen. "Kemanusiaan baru" ini, Gereja, adalah "perempuan baru dari sisi Adam yang baru."
Ensiklik Pius XII membuat hubungan dengan Hati Kristus menjadi lebih eksplisit, dengan mengatakan, "Dari Hati Penebus yang terluka lahirlah Gereja, pemberi Darah Penebusan. . . seperti yang kita baca dalam liturgi suci: 'Dari Hati yang tertusuk, lahirlah Gereja, Mempelai Kristus" (HA 86). Kristus ditikam demi Mempelai-Nya.