Tanggal 03 Oktober Paus Fransiskus menandatangani dokumen Fratelli tutti di Asisi. Damian Howard menulis, 'Ensiklik ketiga Paus Fransiskus merupakan perluasan bertahap tradisi Pengajaran Sosial Gereja yang dengan hati-hati meletakkan logikanya dan dengan lembut meradikalisasi beberapa implikasinya'.
Lima tahun lalu Laudato Si' secara profetik menempatkan panggung pusat krisis ekologi bagi Gereja dan dunia. Agenda yang dipetakan kini memunculkan banyak kosa kata baru: Brexit, MAGA, Covid-19, BLM, berita palsu, lockdown, QAnon. Rasanya, dunia membutuhkan akal sehat Katolik, dan itulah tepatnya yang disediakan Fratelli tutti.
Tampaknya politik saat ini berfungsi dalam dua visi: bertahan dengan proyek ekonomi neo-liberal dengan suksesi krisis ekonomi, rezim pengetatan dan globalisasi teknokratis yang dingin; atau untuk melawan semua dengan mempromosikan populisme nasional pemicu propaganda tetapi berkolusi dengan kepentingan finansial yang korup.
Rasanya termin 'Liberal' telah menjadi kata kotor bagi jutaan orang yang setiap instingnya sebenarnya liberal. Visi Pencerahan yang didirikan di atas prinsip kebebasan individu telah digabungkan dengan ortodoksi ekonomi yang berkomitmen pada operasi pasar bebas. Namun nilai budaya liberal tidak hanya bermuara pada selera.
Ada kemuliaan dalam kisah perkembangan hak asasi manusia pasca perang, penyebaran supremasi hukum, banyak lembaga internasional dibentuk untuk menjaga kebaikan bersama, dll. Sepertinya, rasa jijik akibat Shoah dan penggunaan senjata termonuklir pada masa perang mengkristalkan hasrat kesetaraan dan perdamaian ras. Dan Gereja sadar akan dasar-dasar rapuh teori liberal.
Dalam Fratelli tutti, gagasan persaudaraan universal dimasukkan ke dalam dialog dengan pesan Injil yang menunjuk ke arah persaudaraan manusia. Injil memberikan jiwa pada gagasan menghormati martabat. Namun visi liberal itu sendiri kering, formal, dan abstrak. Yang dibutuhkan adalah peradaban universal perdamaian yang didasari cinta sebagai kebajikan liberal.
Cinta umat manusia, Dostoyevsky katakan, terlalu mudah hidup bersama dengan cemoohan bagi manusia sejati yang hidup berdaging dan bertulang. Tetapi jika cinta universal ingin menjadi lebih dari sekadar gigitan saleh, seseorang berhak bertanya seperti apa dalam praktiknya dan bagaimana belajar bertindak berdasarkan cinta. Menjawab pertanyaan pertama, Paus menawarkan satu perumpamaan dan dua figur Kristen: Orang Samaria yang Murah Hati (dasar biblis ensiklik)--- khususnya 'Orang Asing di Jalan'--- Fransiskus Asisi dan Charles de Foucauld.
Bagi Paus, cinta harus dikerjakan, tidak spontan, dan bukan hanya masalah bersikap baik. Kita harus dibentuk oleh keluarga dan dididik ke dalam praktik dan kebajikan cinta universal, yang titik awalnya adalah mencintai akar kita sendiri, budaya kita sendiri, tanah air kita sendiri. Tapi bukankah ini jebakan populisme dan nasionalisme? Tidak semuanya. Cinta yang benar tidak tertutup, tetapi mekar. Menyinggung Carl Schmitt, Paus mengatakan, budaya lain bukanlah "musuh", tetapi refleksi yang berbeda dari kekayaan kehidupan manusia' (147).
Ensiklik ini sebetulnya tidak memberikan banyak kebaruan tetapi tepi baru aspek-aspek ajaran Katolik. Sebagian besar ensiklik dikhususkan untuk penderitaan para pengungsi, dan 'hak semua individu untuk menemukan tempat yang memenuhi kebutuhan dasar mereka' (129). Ada juga himbauan untuk mengingat kengerian sejarah manusia: terutama Shoah, Hiroshima dan perbudakan (247). Ingatan itu, kata Fransiskus, adalah komponen esensial cinta sosial dan politik.
Mereka yang benar-benar memaafkan tidak lupa. Sebaliknya, memilih untuk tidak menyerah pada kekuatan destruktif. Mereka memutus lingkaran setan, menghentikan kemajuan kekuatan penghancur, dan memilih untuk tidak menyebarkan semangat balas dendam. Balas dendam tidak pernah benar-benar memuaskan para korban. Beberapa kejahatan begitu kejam sehingga hukuman bagi mereka yang melakukannya tidak berfungsi untuk memperbaiki. Bahkan membunuh penjahat saja tidak akan cukup, juga tidak ada bentuk penyiksaan yang bisa dibuktikan dengan penderitaan korban. Balas dendam tidak menyelesaikan apapun (251).
Paus lalu beralih ke modifikasi ajaran resmi Gereja tentang hukuman mati. Logika, -martabat manusia yang tidak dapat dicabut bahkan dari para pembunuh - dengan hati-hati diartikulasikan pada akhir Fratelli tutti, bersamaan dengan kutukan perang. Ini kontroversial. Siapapun yang menganggap posisi seperti itu plastisin belum memerhatikan pandangan yang semakin mengejutkan dari para pakar Katolik. Mereka memandang ekonomi neo-liberal sebagai implementasi optimal Ajaran Sosial Katolik.