Pernakah orang bertanya mengapa Jerman kala menciptakan birokratis rasional, harus membasmi orang Yahudi? Mengapa Palestina terus berteriak menuntut kesejahteraan, hingga banyak mayat tergeletak sporadis di lorong-lorong Gaza?
Jika memang tak ada sejarah yang dibangun tanpa darah, pernakah kita bertanya diri, apakah pembunuhan massa para PKI wajar ditempatkan dalam usaha merekonstruksi sejarah Bangsa? Sejarah menoreh kisah holocaust, sekaligus melupakannya.Yang tinggal hanyalah rasa trauma menghantui setiap generasi setelahnya. Bahkan membuka arsip sejarahpun orang gelisah.Bukankah, "Penderitaan yang berkepanjangan mempunyai hak untuk diungkapkan sebagaimana orang yang dirajam mempunyai hak untuk berteriak?"
- Geneologi Holocaust
Holocaust adalah termin kunci pengungkapan penderitaan rakyat Yahudi di bawah rezim diktatoris Nazi-Hitler. Secara etimologi, holocaust berasal dari bahasa Yunani dan memiliki makna dasar religius: hollos: seluruhnya, seutuhnya, segalanya; dan kau(s)tos: membakar atau bakar. Holokaustos/holocaust: korban bakar seluruhnya, korban yang terbakar seluruhnya.
Pada awalnya orang Yahudi sendiri menggunakan kata Shoah yang berarti bencana, untuk mengungkapkan penderitaannya. Kadang-kadang pula dipakai nama Auschwitz sebagai ungkapan pars pro toto untuk penyebutan kolektif penderitaan mereka.
Menurut Sygmun Bauman, Holocaust adalah penghancuran sistematis orang Yahudi oleh Nazi. Karena direncanakan dengan kompleks dan dilaksanakan dengan maksud tertentu, maka tragedi ini dapat dipandang sebagai paradigma modern rasionalitas birokrasi." Apa maksudnya?
Terdapat beberapa faktor[3]penyebab pembasmian ras Yahudi dari Jerman:
Pertama, penciptaan birokrasi yang rasional, yakni menciptakan masyarakat yang baik dan barometernya adalah masyarakat yang bebas dan bersih dari Yahudi yang jahat. Holocaust bukanlah akibat irasional atau akibat kebiadaban pramodern, tetapi merupakan produk birokrasi rasional yang modern. Nazi dan birokratnya berupaya mencapai tujuaannya itu secara berdarah dingin dan metodis. Hannah Arendt seorang filsuf Yahudi menyatakan bahwa inilah yang disebut bannality of evil.
Kedua, adanya kontrol mutlak aparatur negara yang memegang monopoli untuk melakukan kekejaman terhadap anggota masyarakat yang lain. Negara dikendalikan oleh Hitler yang mampu memaksa negara melaksanakan perintahnya.
Ketiga, paham antisemitisme. Berdasarkan paham ini, orang Yahudi secara sistematis dipisahkan dari anggota masyarakat lainnya dan dipropagandakan seolah-olah mereka menghalang-halangi Jerman menjadi masyarakat sempurna. Karena dianggap penghalang, maka jalan satu-satunya adalah memusnahkan mereka. sebagaimana yang diungkapkan oleh Eichmann di Yerusalem sewaktu diadili: Why did Hitler's executioners kill Jews? Because they are antisemites. How do you know they are antisemites? Because they killed Jews.
Keempat, di dalam kultur masyarakat modern, tidak ada tempat bagi pertimbangan moral. Apa yang dianggap baik menurut moral, belum tentu baik menurut pemerintahan yang birokrat yang dalam arti tertentu prakmatik dan instrumentalistik.
Setelah peristiwa Holocaust, Barat lalu merasa memiliki dosa moral atas darah bangsa Yahudi. Mereka lalu mencari tempat yang layak bagi orang-orang Yahudi yang kala itu masih berdiaspora. Tempat yang dipilih adalah tanah Palestina. Masyarakat Palestina yang pada waktu itu tak mampu berbuat apa-apa karena dalam jajahan Inggris, hanya dapat melakukan protes silentium.