Lihat ke Halaman Asli

The Prodigal Father

Diperbarui: 3 Juli 2020   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

liturgicalconference.org

Dear Sahabat!

Kukirimkan lagi suratku untukmu, yang kesekian, dari jauh.

Sahabatku! Tentu kita sering tergoda menganggap perumpamaan Yesus sebagai abadi, tidak berubah, benar untuk setiap zaman. Godaan yang sama juga saya temukan dalam Perumpamaan Anak yang Hilang. Rasanya, proses 'pembingkaian kontekstual postmodern' terjadi dalam benak saya, bahwa itu masih merupakan perumpamaan yang kuat, dan masih tentang keabadian. Tetapi, bukan tentang seorang putra.

Benar bahwa konteks penuturan Yesus adalah cerita tentang Bapa-Nya, seorang yang mencintai tanpa syarat. Karenanya orang Kristen membangun Figur tersebut sebagai model bagi Allah. Tetapi identifikasi emosional yang sulit dilawan si sulung membuat reservasi kecil. Seandainya cinta itu sebagaimana mestinya, kamu dan aku tidak akan beranggapan bahwa si sulung benar merasa dirugikan.

Yah! Entah bagaimana, ada celah antara kata-kata dan perbuatan. Perbuatan yang tidak dilakukan sang Bapa. Dia lalai memasukkan putranya, sedang dia punya banyak kesempatan untuk itu. Dia bisa mengirim pelayan lain memberitahu si sulung seperti ketika pelayan itu diperintahkan menyembelih anak lembu tambun. Tetapi tidak.

Pada akhir hari ia kembali, si sulung menemukan teka-teki yang membingungkan. Rumahnya terbakar perayaan dan dia benar-benar dalam kegelapan. Tidak heran dia merajuk.

Mungkin kamu berpikir karena si Bapa sibuk dengan pesta dadakan. Benar, tentu saja, orang selalu lupa sesuatu ketika meracik pesta dadakan. Tetapi lihatlah apa yang dilupakan oleh bintang pemandu cinta pengampunan.

Atau kamu pernah mendengar cerita Alkitabiah kisah dasar tentang kebencian, penipuan, dan kekerasan di antara manusia: Kain dan Habel, Esau dan Yakub, Yusuf dan saudara-saudaranya, dsb, menunjukkan bahwa paterfamilias agak egosentris, bahkan narsis.

Dia memiliki anak laki-laki, dan dia berhubungan dengan mereka dengan cara yang patut dicontoh. Tapi dia buta terhadap kenyataan bahwa menjadi Bapa dari dua anak berarti menjadi orangtua dari dua saudara kandung.

Sahabatku! Maaf bila aku lancang. Kegagalan sang Bapa untuk melepaskan ganjaran emosional dari perannya membuat sang anak terjebak sebagai anak-anak, atau dalam istilah 'Analisis Transaksional' Eric Berne, mereka tidak berkomunikasi sebagai orang dewasa: jalur komunikasi miring, bukan pada level.

Emosi dapat dirasakan sebagai cinta, tetapi secara moral tidak efektif sebagai cinta--- hubungan yang kasar: anak sulung dilecehkan dan bertindak seperti remaja yang diabaikan, meski kita tahu dia adalah orang dewasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline