Surat untuk Sahabat
Sahabatku!
Aku telah membaca suratmu "Rintihan Ibunda Bumi". Aku merenungi kecemasanmu sewaktu menatap perkebunan di pekarangan rumah. Kangkung tumbuh lambat, pohon buah enggan berbuah, rerumputan tumbuh tanpa waktu.
Apa yang terjadi adalah kenyataan bahwa kita kehilangan ruang membacakan puisi-puisi para petani. Wajah Ibu Pertiwi berubah! Kini Rayuan Pulau Kelapa, Desaku yang Kucinta, Kolam Susu, dinyanyikan dalam pentasan paduan suara dalam bangunan megah.
Ada sesekali aku melihat orangtua menangis syahdu dan lekas menyekanya. Mereka menangis bukan karena anak mereka bernyanyi, namun mengenang nostalgia. Bahwa pernah ada masa mereka mencuci kebaya dan sarung di kali sambil memerhatikan anak-anak asik mencari ikan-ikan kecil dan udang di balik batu.
Pernah ada masa ketika musim hujan seorang bapa mengajak anaknya pergi ke sungai--- karena banjir membuat kepiting-kepiting kecil naik ke atas batu. Alangkah indahnya masa itu.
Masa ketika kita berbaring di pangkuan nenek atau kakek, di malam hari, dalam terang pelita, dan mendengar mereka berpantun menggunakan alegori alam. Dan betapa indahnya saat mendengar mereka berpantun, dan kita belajar menumbuk pinang untuk mereka.............. Sahabatku, runtuhlah sudah balai kebudayaan sehari-hari!!!
Dalam kenangan inilah aku menulis surat balasan untukmu. Bahwa buyutku selalu bercerita tentang kebaktian pada orang tua dalam diri mereka-mereka yang matanya selalu membentuk satu garis datar kala tersenyum, orang Tionghoa. Konon dalam tradisi Tionghoa ketika ayam jantan dan burung gagak berkotek di pagi hari, seorang anak harus membasuh kedua tangannya, menyikat gigi dan menyisir rambutnya.
Tidak hanya itu, seorang istri pun harus melayani keluarga menantu sebagaimana melayani keluarga sendiri--- dan itu terjadi saat suara pertama dari burung gagak. Setelah berpakaian rapih, seorang istri dan anaknya pergi melayani keluarga mertua.
Sewaktu mereka tiba, mereka harus bertanya dengan pelan dan lembut: "apakah pakaian yang dikenakan oleh mertua hangat atau tidak, kendati orangtuanya tidak sakit. Dan ini pun berlaku bagi anak muda saat menyambut orangtuanya di rumah.
Mungkin kamu berpikir bahwa aku mengarang kisah. Namun ini sungguh terjadi. Yang menarik, ritual keseharian ini bukanlah kebiasaan adat budi pekerti. Bukan. Namun relasi mereka dengan semestalah yang membentuk etos kehidupan.