Melepas Cangkang Lama
Memasuki awal abad XX industri film menjadi amat laris dalam dunia estetika karena dianggap sebagai bentuk seni terbaru atau media terbaru penyebaran budaya dan informasi. Industri film menyajikan media sempurna bagi seniman, produser, aktor, dan sutradara untuk mengejar jalan eksplorasi baru.
Yang menarik kala itu, setiap negara khususnya masyarakat Oriental menganggap sebuah film mencapai popularitas bila audiensinya adalah Amerika Serikat, Hollywood! Dan memang strategi representasional seperti Hollywood terbukti tepat pada saat AS muncul sebagai negara adidaya sekaligus model kapitalisme konsumen (Melani McAlister:2000,31).
Film Lawrence Le Arabia (1962) misalnya. Bercerita tentang peran militer Letnan Kolonel T. E. Lawrence dalam pemberontakan Arab 1916-1918. Film tersebut mencapai popularitas usai ceramah populer Lowell Thomas di AS. Alhasil, investasi terbesar dan laba terbesar dibuat oleh Columbia Pictures Corporation of Hollywood untuk membiayai film yang disutradarai David Leans ini.
Sayangnya, di saat film tersebut memenangkan tujuh Academy Awards termasuk Best Picture, sebuah stereotipe baru mulai terbangun di kanca Hollywood: orientalisme memikat sekaligus biadab. Kisah ini kemudian membuat kita berani mendugai bahwa sementara ekspresi orientalisme Inggris dan Perancis terbatas pada akademik dan intelektual, orientalisme AS justru ditemukan dalam budaya konsumen. AS mengubah daya eksotis Timur menjadi komoditas yang tersedia untuk konsumsi visual (Naomi Rosenblatt:2009,61).
Dikala paradigma orientalisme abad XX tengah memperuncing dualisme oriental dan oksidental, arus digitalisasi dengan logika the world is flat mentransformasi secara revolusioner logika binner yang menghambat kemajuan ini. The world is flat menjadi logika digitalisasi abad XXI, di mana setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang.
Inilah Pop Culture, kala perspektif, kebiasaan, termasuk nilai, diproduksi secara massal dan dihidupi seturut ruang dan waktu tertentu. Budaya populer dengan sarana media digital mempercepat tren, cerita, lagu, film, tarian budaya termasuk kumpulan gambar, konsep, perspektif dan cara berakting yang diterima publik. Menurut William Rowe dan Vivian Schelling, "meningkatnya saluran komunikasi yang melintasi batas budaya memiliki efek membongkar bentuk lama dari marginalisasi dan dominasi menjadi bentuk baru demokratisasi dan multiplisitas budaya" (1991,1).
Konsep ini diamini oleh Amerika Latin yang mengisi list dunia ketiga bahkan lebih frontal dalam perjuangan melawan orientalisme. Nstor Garca Canclini dalam bukunya Culturas hbridas: Estrategias para entrar y salir de la modernidad (1989) menyatakan, pandangan tradisional budaya populer sebagai oposisi terhadap budaya elit tidaklah tepat karena ketika berjumpa dengan budaya massa, ia kemudian menjadi anomali. Seni Amerika Latin yang sempat diberhentikan karena dianggap tiruan pucat dari modernisme AS dan Eropa Barat kini dibela.
Seni Amerika Latin pada hakikatnya adalah hibrid, campuran tradisi dan gaya yang eklektik yang kadang-kadang tidak sesuai. Artinya persoalan peniruan dimungkinkan karena memang sebagian besar seniman paling terkenal dari Amerika Latin belajar di luar negeri atau setidaknya berpartisipasi dalam gerakan estetika yang luas.
Selain itu, pluralitas Amerika Latin, di mana suku-suku Amerindian masih hidup berdampingan dengan keturunan penjajah Spanyol atau Portugis, budak Afrika, dan imigran Eropa, Timur Tengah dan Timur Jauh, telah berkontribusi pada orisinalitas produksi artistik Amerika Latin. Ide-ide dari luar negeri diasimilasi tetapi secara kreatif diadaptasi ke dalam konteks Dunia Baru dengan gaya artistik yang mapan. Justru kualitas hibrida inilah yang menjadi salah satu fitur lukisan dan bentuk budaya visual lainnya di Amerika Latin (1989, 229).
Amerika Latin dan Hollywood