Lihat ke Halaman Asli

Peran Perempuan dalam Gereja

Diperbarui: 3 Januari 2020   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

katoliknews.com

Dunia berubah, tumbuhan bergerak dan manusia tidak lagi dapat memasukan kakinya ke dalam aliran sungai yang sama. Meskipun terkesan lambat, perubahan telah berhasil menyentuh kesadaran manusia; kesadaran akan abilitasnya yang menyeruak menjadi pergeseran teosentrisme menuju antroposentrisme.

Peradaban seolah tak kenal lelah, antroposentrisme yang cenderung antrhopos-nya adalah kaum pria menciptakan gulungan bola salju dari mampatnya kaum wanita dan meledak menjadi gerakan yang kini dikenal dengan sebutan feminism.

Para wanita yang kemudian menyadari bahwa peran ibu rumah tangga saja tidak cukup, lalu memekik menuntut kesetaraan gender.

Awalnya kehadiran ini hanya menjadi parodi, namun berangsur lama pergerakan mereka akhirnya tak dapat dipandang sebelah mata. Patricia Aburdence menyebut bahwa kecendrungan gerakan perempuan menuju milenium adalah menghilangkan pandangan seksis yang terwujud dalam diskriminasi terhadap perempuan.

Alhasil, seluruh ideologi patriarkat mendapat represi untuk bercermin ulang, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu dikaji melalui discerment yang mumpuni.

Berbanding terbalik dengan Gereja Katolik Roma, seruan kelompok feminis radikal untuk menuntut tahbisan kaum wanita bak meludah ke udara, membuang daya percuma.

Pada tahun 1975 di Detroit, sekelompok perempuan katolik menggelar konferensi tahbisan kaum perempuan yang pertama.

Hampir lebih dari dua belas ribu perempuan berkumpul guna meluncurkan seruan untuk tahbisan kaum perempuan menjadi imam. Seorang toko berpengaruh yang turut memberikan sambutan  adalah Sr. Mercy Elizabeth Carroll, seorang biarawati dari serikat Pittburgh. Bahkan seorang teolog Muslim Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa "perempuan direndahkan ketika yang sosiologis dijadikan teologis".

Menanggapi polemik ini, Gereja Katolik kemudian memberikan tiga argumen sebagai alasan mengapa tidak ada tahbisan imam perempuan dalam gereja katolik,

a). Tahbisan imam yang adalah laki-laki merupakan Tradisi Gereja yang sudah sejak lama dipertahankan.

b). merupakan kesaksian Kitab Suci.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline