Pada tanggal 31 Desember 2017 saya diberi Chrismast Gift oleh seorang teman mahasiswa yang sekaligus berprofesi sebagai Grab Bike, kala perkuliahan telah selesai. Buku tersebut berjudul: "Kompasiana: Etalase Warga Biasa", yang bercerita tentang jatuh bangun seorang wartawan Kompas Pepih Nugraha dalam mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial khas Indonesia. Pada waktu itu, saya tidak tahu, bahkan tidak pernah mau tahu, motif apa sahabat saya ini menghadiakan saya buku tersebut. Mungkin karena dia tahu kalau aku suka menulis. Atau suka membaca. Entahlah!
Yang terpenting dari buku tersebut, saya untuk pertama kalinya mendengar kata Kompasiana, dan mengetahui kalau ada akun Kompas lainnya yang terbuka untuk kami orang biasa, yang tidak memiliki latar belakang sebagai jurnalis untuk menulis. Menulis tentang apa saja termasuk bagaimana memasak di dapur dengan baik. Bukan berarti tidak ilmiah dan bermanfaat, namun ada segmen kehidupan lain yang jarang sekali diekspos ke publik. Padahal pengalaman-pengalaman kecil seperti itu jualah yang memberi warna dalam etalase kehidupan sehari-hari dan tentunya khas Indonesia.
Di sinilah, kalau boleh menebak, saya mengetahui maksud sahabat saya ini memberikanku buku Kompasiana sebagai Chrismast Gift. Dia kerab dibuli di kampus karena profesinya sebagai seorang Grab Biker: polusi visual, demonstran healing earth (karena Jaket mereka berwarna hujau), dan lain sebagainya. Kelihatannya memang dia tidak pernah marah. Kadang dia menanggapinya dengan tawaan. Sesekali dengan makian yang diiringi senyum khasnya. Namun kadang saya merasa ada pemberontakan dalam senyumnya, lewat nyanyian-nyanyian rocker-nya yang selalu tinggi dan murung. Mungkin dia kelelahan.
Bayangkan saja, mereka, seorang Grab Biker, selalu tegar menunggu berjam-jam dengan mata yang terus terjaga ke arah ponsel untuk menerima pesanan penumpang yang ingin menggunakan jasa mereka. Selalu berusaha ramah dan sabar melayani penumpang yang terkadang ribet, disuruh antar namun belum tahu alamat dan tujuan kepergian. Bahkan mereka rela menunggu sampai orang tersebut menemukan destinasi perjalanannya yang sesuai dengan alamat yang dituju. Para Grab Biker juga kerab melawan rasa ngantuk agar tetap terlihat tangguh dan terjaga menawarkan tenaga. Bagi saya, kendati sering juga menjadi partisipan yang membulinya, tindakan sederhana mereka melampaui konsep Jaket Hijau mereka. Go beyond! Mereka mendaratkan cinta kasih secara sederhana, kini dan di sini. #SelaluBisa dan #AplikasiUntukSemua
Dari kisahnya, saya lalu teringat akan apa yang dikatakan Edit Taslim, Direktur Group of Digital Kompas Gramedia, dalam halaman pertama bagian sambutan buku Kompasiana yang ia hadiakan. Mengutip L. Friedman dalam buku The World is Flat, Edit Taslim menutur, "telah lama diyakini bahwa digitalisasi membuat dunia seakan-akan menjadi datar".
Digitalisasi bagaikan lampu ajaib di negeri seribu satu malam yang dapat menyulap petani menjadi power rangers, nelayan menjadi superman, pedagang menjadi Avatar, dan seterusnya. Dalam aforisme buku Kompasiana, no one menjadi someone. Bahkan boneka yang tak bernilai pun dapat menjadi Doraemon yang siap mengabulkan segala permintaan Anda. Seperti yang dialami oleh Anthony Tan dan Tan Hooi Ling yang pada tahun 2012 menemukan garasi mereka sebagai ransel Dora yang meluncurkan Myteksi yang adalah cikal bakal GrabTaxi.
Dari Singapura menuju 8 negara dan 336 kota yang ada di seluruh Asia Tenggara. Dari GrabTaxi menuju Grab Car, dari Grab Car menuju Grab Bike dan macam-macam tipe platform Grab lainnya. Saya hampir yakin bahwa dua alumni lulusan Master of Business Administration (MBA) Harvard ini tidak pernah membayangkan sebelumnya akan ekspansi Online-to-Offline (O2O) mobile platform Grab mereka. Terserahlah. Yang ingin saya katakan, aplikasi Grab ini kemudian menyulap sahabat saya, seorang wanita, yang lahir dalam kultur Indonesia, dengan segala budi pekertinya mengambil pekerjaan-pekerjaan yang awamnya merupakan pekerjaan para lelaki, ojek atau lebih tepatnya Grab Bike. #SelaluBisa dan #AplikasiUntukSemua Benarkah ini yang dimaksud the world is flat?
"Kamu tidak malu," tanya saya dalam suatu kesempatan.
"Selagi pekerjaan saya halal, ngapain harus malu," guraunya.
Memang sifatnya agak lebih maskulin, namun dia tidak bisa menyangkali keadaan fisiknya sebagai seorang wanita. Itulah sebabnya sebagai sahabat saya selalu mengingatkannya untuk selalu menjaga diri. Entah omongan saya didengar atau tidak yang penting saya selalu mengingatkan, dan diapun selalu menjawab "Siap boss!"
Kisahnya mengajarkan saya banyak hal. Mahasiswa harus mandiri. Jika mahasiswa hanya fokus pada perkuliahan di kampus, kendati tetap prioritas, maka ia tidak mengenal nilai kehidupan yang diajarkan pengalaman hidup sehari-hari yang jauh lebih berharga dari pada nilai perkuliahan.